Sunday, December 20, 2020

Untuk yang sudah terlebih dulu hilang;

     Hari ini, aku meramu jariku diantara ketikan-ketikan dari pikiran yang suram. Setidaknya, menuju satu bulan berlalu tanpa kabar, kepalaku terasa berat setiap kali mengingat tenang yang kamu ciptakan, kedamaian sederhana dari kata-kata biasa yang tulus kamu sampaikan' yang mampu menciptakan  sejuk didalam perasaan dan mampu membuatku kembali terkesama yang benar-benar tulus tanpa beban. 

    Hari ini, cakapku tidak lagi tentang pilihan lari yang harus aku lakukan untuk membuat segala lupa; hatiku tidak lagi perlu berusaha mengikhlaskan, semua kadaluarsa yang masih saja menang dalam kepalaku tidak akan pernah bisa aku selesaikan dengan segera. Aku menikmati tiap hal yang membuatku kagum, dan masih jatuh hati tentang bagaimana kamu menghargai kebersamaan yang meski pada akhirnya harus hilang.

     Tapi menikmati sama dengan menenggelamkan diri sendiri. Berusaha lupa juga mengkahawatirkan isi kepala yang tidak akan pernah bisa, hati tetap saja mendung selepas kita selesai. Kamu bisa saja datang, kemudian meninggalkan cerita yang datangnya membuatku lupa; bahwa luka yang baru akan selalu tercipta oleh orang yang berbeda.

     Kepalaku masih saja berpikir tentang kita yang sudah lama lari, tidak ada lagi yang bisa kita lakukan sebelum memulai apa saja yang membuat kita berhak bahagia, tidak ada lagi pura-pura menerima untuk menyembunyikan kecewa, tidak ada lagi cerita yang seharusnya tersusun rapi didalam perasaan yang sudah lama ditinggal tuannya. 

Kita tidak lagi bisa merubah mendung menjadi tempat paling terang.

     Yang ternyata ketika aku sandingkan dengan masalah dan perasaan yang tidak nyaman sekarang, kamu masih saja menjadi beban didalam imanjinasiku, beban sepersekian detik ketika akhirnya aku sadar bahwa kita memang sudah lebih dulu hilang.

Selamat meracauku kembali; selamat sudah memutuskan untuk segala sesuatu yang pada akhirnya usai.

Monday, November 30, 2020

Asa

      Aku menyembuhkan kepingan masa lalu ketika ucapmu memberi ruang tenang paling sunyi, yang kunikmati tiap kali patah hati kembali datang dan bersemi, yang hadirnya betah bertahan dan enggan pergi. Kemudiannya lukamu juga sama, kita sama-sama dipaksa dewasa untuk segera sembuh dari asa yang tak biasa. Rasa patah lebih dari pada yang kita ukur menjadi celah kita merangkul gelisah dan amarah.

      Kita menjadi asa yang menyimpan perasaan patah, dikuatkan oleh harapan yang tak pernah lelah mengingatkan, ditegur oleh ego yang sama-sama kita rasakan. Kemudian kita selalu membawa perhatian yang berbeda, untuk sama-sama kuat bertahan, untuk sama-sama berjuang pada luka yang pernah kita rasakan.

    Dan ucapan yang sama-sama pernah berbohong kembali kita ukir diam-diam, sama-sama peduli tanpa pernah pandai mengatakannya, tidak pernah mau mengucap apa yang sama-sama kita rasakan, diam-diam ingin, tapi tahu bahwa luka sudah pernah janji untuk tidak ada lagi--tapi selalu kembali.

    Aku katakan yang sebenarnya; kita bukan sama-sama menyembuhkan patah yang pernah ada, lebih dari padanya membandingkan kenyataan dengan yang lama, perbedaan menuntut kita dengan apa yang pernah kita punya, menyakiti setiap hari adalah pilihan yang tak pernah kita sadar bahwa yang kita sebut indah hanya akan sia-sia.

Kita bersua bukan untuk menyembuhkan--lebih dari pada kita yang membawa luka.

Wednesday, November 11, 2020

Temu

     Aku menemukan yang hilang kesekian kali setelah kehilangan banyak hal. Kehilangan tidak lagi kutuntut untuk selalu berjalan tanpa pulang. Tidak lagi kupaksa untuk pergi selamanya karena merakit benang kusut yang tidak tahu mengapa betah tinggal. Sekali lagi; aku menemukan rumah yang tahu mengapa sakit tidak akan pernah mudah terlupa.

     Kita melewati banyak musim tanpa kebahagiaan yang paling. Kita mengharapkan takdir untuk cepat menyelesaikan yang terjadi. Memaksa membenamkan semua ingatan yang tidak membawa kabar baik tentang keadaan ke depan, yang selalu menjadi bayangan pahit tentang apa yang kita dapatkan suatu hari yang entah kapan.

Kemudian kita yang sama-sama sedang tersesat menemukan penyembuh yang sama-sama pernah cacat. 

    Dan dia menemukanku pada keadaan yang paling berantakan. Aku menemukan dia pada keadaan yang penuh beban. 

    Maka, suatu hari nanti kusampaikan padanya, berlabuh tidak akan selalu bisa sembuh. Tapi menemukan temu, menuntunku untuk terus percaya bahwa kehidupan tidak pernah harus digurui waktu.

Saturday, October 24, 2020

Hangat

     Aku bersandar pada hangat yang selalu menyejukkan suasana. Menyapu beban yang mahir mencekramku kuat-kuat, penat menjadi kata biasa yang tak pula aku tahu mengapa betah tinggal. Kemudian aku menemukan rumah paling nyaman; yang mendekap kuat hingga tidak lagi kedinginan, yang menopang gelisah ketika perasaanku terasa sangat berantakan, yang membawa kelana dan menemukan hangatnya suasana.

    Dia tahu caranya tetap tinggal. Dia tahu caranya bermukim dengan keadaan yang nyaman. Dia dan segenap rasa pedulinya memberiku suam yang begitu menyejukkan. Dia membawa perasaanku yang kosong menjadi tenang yang begitu senggang. Dia selalu bisa menjadi pelindung ketika perasaanku semakin dingin.

     Kemudian dia berpindah cara untuk berhenti membuatku baik-baik saja. Dia tidak lagi membawa ketenangan--hangat yang kian menipis karena perasaan yang tidak lagi semekar biasanya. Tidak lagi ada yang merasa aman karena punya pundak paling kokoh ketika bersandar, atau tempat yang selalu damai membawa bahagia yang ramai.

Dia tidak menjadi spesial seperti biasanya.

     Aku menemukan diriku. 

Tidak ada kebahagiaan yang bisa aku titipkan pada siapa-siapa, bergantung tidak selalu menyeluruh, berharap tidak harus selamanya.

Aku bahagiaku. Pesan dari sisi kelam dan segala keluhku yang dia cakap untuk mengobati perasaan; 

 Dia bukan sumber kehangatan yang aku butuhkan, dan tidak akan pernah bisa mengobatinya.

Aku akan tetap menyayangiku, sampai lupa sudah sejauh mana aku titipkan perasaan yang tidak akan pernah bisa aku dapatkan.

Friday, October 9, 2020

02.22

Simpang siur; seluruh pikiranku berkelana kabur. Melebur dalam ramai melihat sesak, menjadi pemerhati sekitar yang tak satupun mengeluhkan sesal.

Aku bercengkrama dengan riuhnya hening malam--yang menuntun untuk pulang pada arah yang tak pernah membawa kabar baik pada perasaan, menyuruh takdir bermain peran paling estetik tanpa pernah menjadi peduli pada perasaan yang sudah lama gagal. Mereka bilang; tidak apa-apa.

Satu kalimat yang membawaku jauh lebih buruk dari pada selepas aku menanggal yang aku usahakan.

Kepalaku masih saja berputar; redup dan setiap ingatan yang kabur menjadi tak kasat yang semakin gelap, keluh pada tuntunan waktu yang memanggilku hingga sekarang, membiarkan isi dari sepenggal kepala melalui pikirannya yang bermacam-macam.

Sudah terbiasa, pikirku.

Aku bilang pada diriku bahwa semuanya tidak lebih buruk dari mustahil yang aku rangkai. Membawaku menikmati malam dengan membawa nostalgia yang entah tentang apa saja. Semua bermukim pada satu cerita tentang cemas yang selalu menang. Mengkhawatirkan setiap bencana yang belum tentu melebihi rencana. Meragu hanya akan kehilangan akal yang tidak lagi membawa kesedihan tapi juga putus asa.

Kusampaikan pada perasaanku sekali lagi;
Perasaanku baik-baik saja--

Untuk kemudian menyenangi yang aku lintas sesekali, tidak perlu merakit emosi hanya karena pikiran sedang bersenang-senang, mengizinkan ia menyelami lebih dalam--kubiarkan masuk pada keheningan yang kemudiannya menyadariku bahwa;

Menjadi aku adalah hal paling luar biasa.

Sunday, October 4, 2020

Ruang Tunggu

     Ruang tunggu tak harus selalu bermukim manis dipelataran rumah seseorang, satu dari banyaknya pertemuan yang tak perlu kuusahakan berakhir berantakan hanya karena sedang tidak siap mengingat yang tak seharusnya--atau tak siap memulai tumbuh seperti sedia kala. Sudah terbiasa untuk mewajarkan; itulah salah satu pikiran yang selalu memenangi setiap langkah temu yang mengizinkanku untuk membiarkan ia masuk, mengizinkan langkah kaki menemui seseorang yang sudah mati-matian berusaha lupa, mencoba untuk tetap membiarkan redup dan meninggalkannya sendirian, kemudian lupa.

     Ruang tunggu menjadi tidak peduli, perasaan yang selalu aman tanpa perlu waspada menangis sekali lagi; tidak perlu tahu kembali tentang merasa redup hanya karena tidak lagi sanggup, tak lagi menjadi peran paling manis dalam tiap kesedihan. Aku tidak perlu menemukan apapun, tidak pula perlu tahu kemana arah tuju yang ia susuri, tidak perlu menunggu rumah yang tak pernah menyadari seperti apa aku menggenggam erat, memeluk hebat; dan selalu lekat.

     Aku menemukan arah yang pasti, waktu yang membawaku pada kebahagiaan-kebahagiaan kecil yang kunikmati kini, tidak lagi peduli, tidak pula menolak garis takdir. Aku mulai mahir menyusun diri, menikmati pilihan yang memenangkan inginku tanpa perlu mengoles berbagai cara. Ditengah-tengahnya, tidak pula kugantungkan kekhawatiran paling mendalam untuk seseorang--siapa saja ia yang memberiku celah untuk mengingat, memusatkan perhatian yang tak seberapa; dan tega meracau garis bahagiaku. 

    Sejak menjalani pilihan yang kususuri, ada banyak langkah untuk tetap menjaga ruang tunggu paling rahasia. Aku tidak perlu menunggu. Tidak perlu akal-akalan hebat hanya karena bersaing, aku tidak perlu menuruti perasaan orang-orang yang memberi ego dan besar harapannya padaku. Kutemukan arti temu tanpa perlu berat hati terbeban, kubiarkan ia menunggu tanpa perlu pernah kasihan pada keadaan yang sedang bahagia. Kubiarkan berjalan pada satu jalan lurus yang tidak pernah saling menyapa.

    Aku tetap, dan akan menikmati ruang tunggu berhargaku.

     Biarkan aku berbicara didalam senyap, mengaminkan doa yang kupikir berharga, mengedepankan yang aku pinta. Membiarkan segalanya hinggap pada waktu yang tak pernah memberi batas, karena sampai pada alasan tidak lagi perlu menunggu.

     Rumah kita bukan sebuah ilustrasi cerita yang tersusun rapi diantara imajinasi, setiap apa yang sudah kita ukir dengan ruang tunggu berharga sekalipun; tetap menjadi amin masing-masing.

    Maka, kulepas ia tanpa pernah perlu aku rangkai.

Wednesday, September 16, 2020

Hujan kelima belas.

  Sebelum aku menemukanmu dan kita enggan bersua hanya karena sebuah perasaan yang tak kunjung mengaitkan arti pertemuan, kamu membunuh mati-matian harap hidup seseorang. Pertemuan yang tak logis dan dipaksa menang menjadi pecundang hebat dalam keadaan kita yang sebenarnya rapuh. Tiap apa yang kita paksa sama tak pernah menjadi pulang yang menyenangkan, berandai bahagia tak membuahkan hasil. Kita hidup memaksa kehendak Tuhan dan mengurung duka yang kita buat hingga menjadi lebam. Satu dekade atau sewindu yang tak pernah kuhitung berapa angka yang harus betah bertahan dalam perasaanku, hingga detik ini sampai--segalanya sudah selesai, tak lagi aku memaksa menerima yang tak pernah kuharap ada dalam kehidupan--karena aku sudah merekahkannya tanpa perlu mati-matian melupa.

    Hujan yang entah mungkin sudah sampai kali kelima belas, dan tak tertebak berapa kali ia datang dalam ukuran tahunan, tangisan hujan yang lalu selalu menuntunku istirahat; sama seperti biasanya. Tidak lagi tahu tentang masa lalu yang tak sepenuhnya harus mengisi ruang hidupku. Tidak perlu melukai perasaan yang tak bersalah, tidak perlu pula melawan rasa sakit karena perasaan yang pernah ada, dan sekarang; sesempatnya setelah hujan kali ini selesai, kubiasakan adanya keadaan yang sempat singgah lama dan memberatkan perasaan. Hujan menuntunku untuk tidak lagi mendesak rasa sakit dan sewajarnya saja, karena aku sudah belajar banyak.

   Sudah kali kesekian hujan datang, kuhitung semenjak perpisahan menjadi ruang temu terakhir, tepat lima belas kali ia berganti cuaca yang tak bisa kutebak satu kali dua puluh empat jam, aku menemukan diriku lebih handal dari biasanya. Memahami bahwa semakin rapuh akan semakin hancur, mengingat sama saja bohong, menuangkan kenyataan pada sebuah objek kosong yang kusebut masa lalu selalu menjadi hal yang tak akan pernah selesai. Aku melepaskan yang tak pernah aku inginkan, meluapkannya pada hujan kelima belas.

    Hujan kelima belas tidak pernah memaksa. Tidak tentang bagaimana aku perlu memaafkan kesalahan seseorang, menunggu ucapan belasungkawa atas kejadian yang selalu aku keluhkan, menjadi jaminan kekhawatiran manusia lain karena keadaan, menerima secara paksa tentang diriku yang sekarang.

Hujan kelima belas pada akhirnya meraup sisa-sisa beban yang aku samarkan setiap hari, yang kurangkai dalam satu cerita panjang dengan berat hati, dan kuukir diselembaran ingatan yang pada akhirnya tak bisa kubuang.

 Hujan kelima belas ini, kuberitahu pada diriku tetang tidak perlu larut mengembalikan pada keadaan sedia kala.

Pada hujan kelima belas, aku sudah sampai pada keadaan yang tidak pernah kutuntut banyak. Tidak karena keadaan yang kukeluhkan pura-pura bahagia--atau karena tidak mampu mengatakan baik-baik saja--atau sama dengan mengeruhkan keadaan agar bertahan lebih lama--dan karena menikmati banyak khawatir yang selalu aku cegah untuk segera sembuh dan selesai. 

Tapi karena aku mencintai hujan kelima belas.

Monday, September 7, 2020

Rumah Pelarian

Perempuan itu memutuskan mengayun kakinya untuk menepi pada sebuah ruang bebas sebagai rumah pelarian. Tempat ia kecewa dan menyimpan duka yang diam-diam ikut memperhatikan setiap langkah kaki yang ia tuju. Kemudian berhenti ketika sampai, menggapai setiap sendu yang meramu diwajah lesu yang tak lagi peduli sama kegelisahannya, berdiam menetap lama menenangkan perasaan yang berantakan, kemudian mengatakan pada dirinya, kuat bukan berarti harus sampai secepatnya.

Rumah pelarian itu memberi keleluasaan untuk membaur dengan pilu yang tak lagi sama. Dia menjadi sebuah cerita paling berharga, menjadi ruang sendu yang seluruhnya bertabur dan membawa ketenangan paling hangat. Tempat dimana bebas menyanyikan ribuan kegelisahan secara luas dibawah langit semesta yang selalu menjadi rahasia paling besar--serta jawaban yang mati-matian menjadi penunjuk kegelisahan selama ini. Putus asa tak lagi membuatnya menahan sakit; dan rindu pada nyaman merangkul erat-erat.

Perempuan itu tak lagi berpura-pura mahir sebagai bentuk menerimanya pada takdir. Rumah pelariannya membawa pada kesempatan menerima yang ia cemburui. Matanya yang meraut keheningan tak lagi mati pada yang terlihat. Tubuhnya tak lagi menyeka beban yang terangkul erat. Marahnya tak lagi menertawakan gelisah yang setiap hari betah bertahan. Rumah pelariannya menjadi ruang singgah yang tak pernah akan ia kasih ke siapapun yang tiba.

Maka, rumah pelariannya selalu mati-matian ia tutupi segelap mungkin. Disudut hatinya, disinggahsana setelah ia menemukan pulang, maka ia sampai pada tujuan yang akan dapat memberi jawabannya. Disana, ia menemukan arah kegelisahan yang mati-matian memburunya setiap saat. Dibeban perasaannya, tak lagi perlu sampai pada rapuh yang mengalahkan dirinya.

Rumah pelarian yang sudah lama ia sembunyikan diam-diam, menjadi ruang temu paling berharga untuk abadinya. Jika rupa adalah bentuk yang terkasat dan setia menjadi terbaik, tidak padanya. Rumah pelariannya selalu jauh lebih membuatnya bebas tanpa pernah belajar cara melupakan manusia pada masanya.

Tuesday, September 1, 2020

Resah

Sebenarnya, ada banyak kepingan tawa yang tersusun dari gelap canda yang disembunyikan di ujung keadaan. Berusaha mati-matian menuntunmu untuk mengatakan baik-baik saja; sudah lama setelah sekian waktu kamu beradu dengan sesak yang tak menemukan arah, pada pintu yang paling ujung, tak pernah ada yang tertembus dan berakhir rampung. 
Perasaanmu samar-samar menyamari nyata yang tak pernah memihak pada keinginan. Rupamu masih sama saja; siapa yang tahu bahwa sendu bermuka dua dan menyembunyikan kepingan bahagia yang sudah lama runtuh? Kehilangan yang kamu pikir akan segera sembuh menjadi kalah karena kebahagiaanmu selalu tak tenang, tak aman; dan jadi bagian yang tak pernah kamu tunggu-tunggu datangnya.

Perasaanmu kalah oleh perkataan orang-orang. Hidupmu menjalar pada cerita manis mereka yang memberi banyak dampak luar biasa untuk hidupnya. Sedangkan kamu masih saja mati-matian menenangkan perasaan, menyematkan kegelisahan, meluapkan segala yang tak pernah selesai; dan tak pernah benar-benar usai.

Kemudian baru kamu tersadar bahwa sebenarnya arah tujuan tak seharusnya menjadi beban paling luar biasa. Hidup tak harus menyeluruh, tak selamanya perlu mengejar untuk memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan bodoh yang hanya menyakiti. Ketika dunia tahu bahwa kehidupanmu tidak pernah berakhir menyenangkan, maka ada banyak kejadian yang harus lebih banyak kita ambil menangnya. Rela pada hal-hal yang merusak pikiran dan meredakan segala yang tak pernah wajar. Karena setiap yang terjadi maka benar-benar ada, manusia tidak bisa memilih yang mana sebab tercipta karena mahir berencana.

Karena tumbuh secara utuh dengan mengedepankan ketenangan; jauh lebih berbobot daripada memendam, kemudian menyisakan dendam. Melupakan yang tak pernah selesai tidak bisa merubah keadaan meski pada akhirnya segala cerita tetap sesuai keinginan.


Monday, August 17, 2020

Rumah Yang Tidak Lagi Sama

Ada banyak cara untuk menemukan rumah yang sudah tidak lagi mampu menjadi peneduh beban gelisah. Bukan lagi caraku memaksamu menampung yang berakhir rampung, bukan peranku menyusuri masalah dengan berat hati memintamu mengerti. Meraup ambisi dari rumah yang sempurna membunuhku mati-matian untuk tetap bertahan. 

Ternyata kita hanya beban yang tidak bisa saling menimpal pelarian.

Kamu bilang pada semestaku bahwa ada banyak janji yang masih mengintai jauh-jauh hari. Janji ingin menyimpan kalimat tentang bagaimana caramu mengatakan untuk bercerita tentang hari lalu, hari ini, dan hari esok yang kita inginkan. Janji tentang bagaimana cerita yang kamu ingin berakhir tanpa perlu mengusik kata akhir. Akhir berarti menutup erat-erat, dan kamu bilang bahwa tidak akan pernah pada kita, bahkan sekalipun itu sekat.

Tentang ekspektasi yang pernah kususuri padamu, cerita tentang bagaimana aku melahap setiap keadaan yang membuatku jengah, kamu selalu memintaku untuk bersandar pada menerima yang sebenarnya, beberapa bagian terpaksa pada akhirnya membuatku semakin lelah, tanpa pernah mengartikan kata salah dalam tiap masalah, aku menang dalam perasaan pahit yang berusaha murah.

Cerita yang pernah kita habiskan tidak lagi menjadi monolog dalam prosa. Kebahagiaan di awal tidak mengurung duka, ingatan bahagia tidak mengungkit perbedaan, kita bertemu pada ruang yang salah.

Dan selamanya, kita bukan rumah yang menyusuri setiap langkah tanpa pernah menyerah.

Tinggalmu lebih jauh, akan kususuri bagaimana aku menemukan kebahagiaan yang terlahir untuk lebih banyak tidak mengecewakan. Tetaplah lebih lama, ada rumah yang harus aku benahi untuk menyusun yang tak pernah sama lagi.

Sunday, August 2, 2020

Tentang Tulisan


     Tentang tulisan yang entah bagaimana aku bersikeras menceritakan setiap cerita dengan rangkaian kalimat yang kususun menjadi bentuk paragraf sederhana, tentang apa yang tak aku pedulikan orang lain ucap; tentang kalimat mengagumi yang entah bermakna sekilas atau selamanya, atau ucapan yang memang layak mereka bilang berlebihan, tak beraturan, serta mengenang yang tak perlu berulang akan membuat kehidupan enggan ke depan.

    Tidak perlu kamu ketahui bahwa dengan menulis aku tidak perlu bersikeras mengatakan apapun yang menyerap habis energiku untuk berada dalam keramaian, sesekali, aku memang pandai berdongeng pada orang-orang, pada yang menjadikanku sebagai tuan cerita dalam waktu senggang, menyimak sederet ucapan yang tak lain selalu takut kusebut, bahkan hal-hal yang selalu membuatku nyaman tanpa perlu lelah sedemikiannya; setiap kali mulutku berhenti berkata.

    Menulis selalu menjadi kerangka dalam tubuhku. Menjadi bagian paling kuat dari raga yang lemahnya lebih hebat. Menghidupkan keluh yang tak pernah berlabuh pada bahagia yang paling aku ingini, sampai-sampai, pun ketika aku hidup karena senang menulis, maka izinkan aku menikmati setiap kesedihan yang aku ceritakan.

    Kalo menulis adalah bersenandung dengan luka yang tak perlu lagi kubendung, maka memang seperti itu jawabannya. Aku masih manusia sama yang juga tidak pernah ingin terlibat dengan perasaan tidak aman--orang lain bilang yang aku istimewakan, aku menangkan, aku juarai keberadaannya sedemikian rupa ialah keadaan bahaya yang suka sekali menyakitkan, supaya aku bisa menulis dan merangkai hingga saat ini.

    Maka kuberitahu satu hal, saat menulis adalah menceritakan kesedihan terdalam, ketika jemariku mengarah pada cerita yang selalu mengandung sendu tanpa makna, ketika yang aku pikir dan aku tuangkan adalah tentang bagaimana luka-luka yang selalu aku ingat dan menangkan--adalah bukan yang pertama untukku menjadikan alasannya. Karena bagiku menceritakan luka tanpa perlu bercakap selalu memberi keistimewaan, meluapkan perasaan yang tidak baik-baik saja selalu menenangkan.

    Kita memang bukan yang sama, setiap manusia terlahir dari pikiran yang mahirnya beda, maka setiap aku bercerita tentang luka-luka yang juga aku serap dari orang lain, perasaan patah yang aku rasakan dalam hati lain, pilu yang menyeretku untuk ikut dalam cerita manusia lain; maka bahagiaku adalah membaginya lewat tulisan, meresap yang selalu orang lain khawatirkan, menuang dalam cerita yang orang lain rasakan.

    Bagiku, duka yang sama tidak pernah bisa dirasakan banyak manusia, dan menuang dalam ketikan adalah merangkul yang dengan diam perhatian. Maka aku ingin orang lain merasakan, maka aku ingin berbagi kesedihan.

    Maka, biarkan aku tenang tanpa pernah menggurui siapa saja, biarkan aku menggambarkan kesedihan dalam setiap tulisan yang ada, biarkan aku mengetik dengan perasaan.

   Biarkan aku memenangi luka yang selalu aku jadikan bahan cerita dalam setiap pilu yang bermacam-macam bentuknya.

Tuesday, July 28, 2020

Tidak perlu tahu

     Kita bergerak pada cerita yang sama, pada arah yang satu, pada mimpi yang tanpa batas kita selesaikan dengan cerita masing-masing--sambil tertawa; bersukacita memeluk harapan yang berbeda dengan keinginan yang selalu kita genggam erat-erat. Kataku, manalagi yang seharusnya aku salahkan ketika pada akhirnya harapanku ternyata benar-benar menenangkan?

Kita menyukai mimpi pribadi yang selalu kita aminkan bersama. 

    Katamu, yang selalu aku ingat tentang sepatah kalimat tentang bagaimana menyukai segala keinginan yang aku sampaikan, cerita paling sulit yang rumit untuk kukatakan pada siapapun; memberimu masuk dan menjatahkan untuk mendengar pada akhirnya tetap membawa hangat. Siapapun nanti, apapun nanti, pilihan yang kita sendiri-sendiri ingini tidak akan pernah merumitkan yang berjalan, menyalahkan waktu yang menjeda, meluapkan amarah pada masalah yang tak kunjung memaknai pisah.

     Tidak pula perlu lagi kutemui ketakutan terbesar ketika akhirnya mimpi harus kutampung sendirian. Kata orang-orang tentang kekonyolan--kamu menemukanku pada yang bukan kata orang, setiap orang bilang bahwa terlalu berharap banyak akan lebih dalam kekecewaannya, meninggikan ekspektasi tidak selalu berhasil; terakhir, akan lebih banyak menangisi daripada berkata tentang kebenaran bahwa segala yang sempat aku singgung memang benar-benar nyata.

      Kamu memberiku banyak celah untuk tidak menua pada kesedihan. Tidak pula memaki atas kesempatan yang kuberi untuk menyimak cerita yang orang sebut berlebihan. Tentang mimpi dan cita-cita, semoga akan tetap hidup pada kebahagiaan kita. Terimakasih, karena sejak ruang kosong yang selalu ingin merapat dan tidak ingin terlalu melebih-lebihkan seseorang, pada akhirnya aku bersyukur, duniaku tidak lagi tentang sesak sendirian.

      Tentang bagaimana caraku berharap, bukan kamu yang tidak perlu tahu; tapi ini tetap rahasiaku yang terlampir pada semesta, selalu dan akan tetap mengadu.

Saturday, July 11, 2020

Bila

Kemarin, dia mengikutsertakan aku dalam harap selepas mengadu pada langit-langit semesta, memohon untuk tidak menjadi pecundang seseorang, menguntai doa yang paling membuatnya senang, berbahagia dengan apa yang sudah dia miliki sampai sekarang.

Kemarin, dia bersuka cita. Merayakan satu tahun bentuk kesedihan yang mampu ia tampung setelah dipaksanya menggantung. Satu tahun bukan waktu yang sebentar untuk mencoba lupa dan terbiasa pada sendu yang tak pernah berhenti berkhayal, menyikut ruang kosong setiap ia memendam, akhirnya tumpah; sekali lagi selalu muncul tiba-tiba tanpa pernah tahu rasa bersalah.

Kemarin ia menjadi sempurna, ia melupakan yang sudah, mengobati luka dengan mudah. Menuai aku sebagai obatnya selepas masalah. Bahagianya datang padaku, pada ribuan cerita yang pada akhirnya sampai padaku. Lukanya sembuh olehku, dia bilang, cukup sulit untuk menyudahi perasaan dulunya, tapi bersamaku; ada banyak hal ringan yang bisa membuatnya tertawa dengan lepas dan tidak mengundang ingatan saat kali kita bercengkrama.

Dia bilang padaku bahwa ceritanya tidak akan ia ingat lagi saat hujan, tidak ia pikirkan saat diam menatap rona jingga, tidak ia ingat saat tertawa dengan teman, tidak ia beri hembusan nafas lega saat ia sedang melamun menatap langit-langit kamar, tidak pula ia samakan aku dengan kisahnya yang sudah.

Dia bilang aku menjadi peluluh, meluluhkan perasaan ketika dia tidak bisa menghadapinya, menyudahi setiap kali dia ingin marah, menenangkan saat dia kecewa, menyadarkan bahwa hidup bukan cuman tentang yang ia inginkan dan orang lain mengalah. Dia selalu; tanpa tahu aku lelah.

Dia, sampai aku tidak pernah lagi paham tentang menyerah. Terlihat giat supaya menjaga perasaannya, terlihat senyum tanpa pernah tahu isinya, terlihat baik tapi tidak mengerti dalamnya, sampai dia tak pernah tahu bahwa aku bukan harus seperti yang seharusnya ia pikirkan.

Bila bahagia yang dia butuhkan adalah sederhana, maka aku bukan pemenang.
Aku tumbuh dengan harapan yang tak pernah akan aku sia-siakan, dan pada akhirnya aku ingin memanja rasa yang selalu aku semoga.

Bila bahagia yang dia cari adalah seorang pengganti, maka aku bukan jawabannya.
Aku ingin hidup karena diinginkan, bukan karena penyembuh yang selalu dianggap mampu ketika ia sedang tidak pernah baik-baik saja.

Thursday, July 9, 2020

Kita manusia sama

Manusia biasa yang lagi-lagi gagal menang dari sorakan masalah yang terus saja menganggu.
Tidak berhenti, tidak mahir untuk sudah, tidak bisa dan tak pernah pandai memeluk tiap keping yang selalu diburu waktu.
Berlomba, bermain peran, bermetamorfosis hebat dalam bayangan rumpang,
berkutik dengan rambu-rambu remang yang diusut habis dengan cerita perasaan.

Mereka bilang kita mustahil kuat,
mustahil menang dalam cerita yang sudah kita rancang rapi-rapi
hanya agar mulut tidak memberi luka diri 
hanya agar tidak menjadi tuli mendengar desus tak berarti

Kita manusia sama,
Meluap luka menjadi sendu yang tak habis lelah
Menangis, menggerutu, meminta adu yang tak kunjung sudah
Memanja cerita sembuh yang melebar masalah
 
Kita manusia sama yang dikejar hari esok,
supaya yang lalu segera pergi.
Lari.

Tuesday, June 30, 2020

Tidak lagi ada alasan

Terimakasih untuk menjadi milikimu sendiri ketika dunia tahu bahwa hidupmu tidak lagi menarik seperti orang lain.
Terimakasih untuk menjadi seseorang yang membuatku tetap hidup disaat duniaku sedang runtuh menyeluruh.
Terimakasih untuk menjadi kita yang masing-masing dengan doa yang paling kita ingini.
Terimakasih untuk berjuang menjadi yang lebih baik, belajar untuk menjadi seseorang yang selalu membawa baik, berusaha untuk berada pada jalan yang baik.
Terimakasih untuk kuat yang selalu menjadi rekat ketika aku tidak pernah siap melakukan.

Terimakasih telah membawa damai yang selalu aku semai.

Ada banyak kalimat yang ingin aku sampaikan pada Tuhan,
pada segala baik yang selalu membaik,
pada segala khayalan yang selalu memberi semangat atas pencapaian,
pada segala alasan mengapa aku jatuh tanpa pernah rapuh,

Kamu jawaban dari kosa kata yang paling takut kuucap, paling tak berani kudengar, paling awam kusampaikan.
Kamu cerita yang selalu aku harap kapanpun, karena tidak lagi ada alasan mengapa aku melakukannya.

Monday, June 22, 2020

Kamu bukan,

Kamu bukan tuhan, bukan pencipta segala omong kosong yang paling aku ingini, 
bukan tempat menyembah segala duka yang tidak pernah bisa berpaling dan lari. 
Bukan penyejuk dan penghibur pilu, bukan rumpang yang sengaja hilang supaya aku mencarimu kemana saja--menyaksikan kau bercahaya dengan segala bohong yang kau mainkan hingga aku jatuh dan kesepian.

Kamu bukan harapan,  bukan doa yang pantas aku sandingkan dengan keinginan yang menumpuk dalam kepala, bukan kabar bahagia dari sebuah pesan yang mampir untuk menyapa takdir, bukan ingin yang selalu aku paksa untuk sesuai dengan mimpi, bukan jawaban dari banyak ketidaktahuan yang serupa aku aminkan membawa kedamaian, bukan yang sebaiknya terjadi, bukan yang pada akhirnya usai karena segala pelabuhan tidak menemukan ruang singgahnya.

Kamu bukan keinginan yang paling tepat untuk aku ucapkan ribuan kali setiap kusapa semesta, 
Aku mencarimu ditengah-tengah asa yang aku kuatkan, 
menuai pada langit senja supaya kita adalah apa yang sebaiknya jadi,
Memohon pada jingga agar memihak pada jalan yang tidak pernah ada tujuan,
melirik desau angin yang semestinya mendengar--bahwa ribuan kali aku menyeka diri agar segala yang nyata adalah yang memang cocok dengan pinta.

Kamu bukan ruang yang harus kupenuhi dalam tiap pikiran, bukan pula hal yang menyuruhku untuk terkurung dalam jeratan yang berbahaya,
kamu bukan bersikeras yang jatuh pada segala hal, bukan pula yang perlu mencegah ketika lari adalah satu-satunya, ketika langkahku mengalah pada segala cerita, ketika segala semogaku meredam diam.

Kamu adalah rumah banyak orang, yang tidak akan pernah lagi; sekali lagi untuk aku kunjungi.

Friday, June 19, 2020

Sudah

     Setiap manusia itu tumbuh--katamu, kalimat yang selalu aku abadikan dalam cerita kita, tentang langkah yang bukan sama dan tentang cerita yang lama mati namun terus dipaksa. Seberapa besar takdir yang mampu kita capai meski ada banyak yang harusnya kita abai?
     Aku memihak pada tuan yang selalu mengaminkan semoga, pada ucapan yang selalu membawa kehangatan, tanpa celah, aku menemukan tempat tertenang dari segala gaduhnya alam, aku beritahu satu hal pada alam, bahwa aku sungguh-sungguh--dan akan tetap berlabuh. Tuan membuatku luruh, menyimpan harapan semu menyeluruh, tidak tentang aku yang tertinggal jatuh--kemudian tuan melangkahkan kaki lebih jauh.
    Satu hal yang tetap menang ketika kita tidak bisa apa-apa, aku terpana--seketika, ada banyak hal yang tuan tidak pernah sadar bahwa segala bentuk yang nyata tidak pernah menjadi kisah yang serupa kita inginkan. Ada jeda, ada jarak, ada batasan yang harus kita menangkan untuk menjadi yang lebih baik dari segala harapan yang kita pikir baik.
    Kita tidak pernah pantas menjadi apa-apa, kan? Setelah purnama kala semesta memberi waktu yang tepat untuk kita menikmati lingkar cahaya di lautan awan, bukankah memang lebih jauh dan tidak pula harus mengeluh bahwa hidup sedemikian sulitnya untuk kita yang tak pernah satu arah?
    Aku kirim keinginanku berkali-kali, memohon semoga siapa kita akan bisa melangkah pada segala semoga, aku yang bukan siapa-siapa akan berada pada akhir dalam mimpi indah, yang tuan semai dalam-dalam akan menjadi jawaban terbaik yang tidak akan berakhir suram.
    Beberapa kali aku melakukan, kita memang tidak bisa. Aku bukan yang ada pada jalanmu, tuan bukan yang harus aku tempuh. Ketika kita memang bukan satu, banyak keterpaksaan yang tidak bisa memberi tuntunan. Terpaksa membuatku sakit, bukannya tuan tahu bahwa hal terbaik ialah sama-sama berakhir bahagia?
    Tuan, aku tidak pernah ingin sudah, tidak pernah pula ingin lepas. Satu tidak pernah berakhir selalu menyenangkan, dua menjadikan kita sebagai jalan yang seharusnya dan yang sebaiknya benar-benar terjadi. Sudah memang menyebalkan, selalu menyisakan kenangan yang tak kunjung hilang dalam ingatan.
    Terimakasih, terimakasih membuatku masih tetap hidup dan sanggup. Tuan tahu, bahwa sebenarnya segala doa akan tetap baik meski keadaannya tidak pernah peduli?
    

Saturday, June 13, 2020

Terbiasa

     Aku sudah terbiasa--setelah segara caramu memberi ruang kosong yang amat memberatiku. Sekali lagi, aku terbiasa dengan segala bentuk kalimat klise yang tidak ada artinya sama sekali lagi. Ucapan yang kamu adakan menjadi ruang tunggu paling menyesakkan yang akan segera selesai. Ternyata memang benar, segala yang kamu bawa sudah sebaiknya pulang pada tempat yang tidak ada perlu kepentingan, dan memang akan selamanya usai.
     Aku keruh dengan suasana yang membebanku dari jauh-jauh hari. Sudah lama setelah aku menemukan titik baru atas segala pura-pura yang datang kembali. Berharap pun tak pernah sama--ada banyak hal yang bisa aku kejar dan belajar, bahwa yang datang bukan untuk menetap; namun berkunjung hanya untuk saling melempar tanya--dan sebatas bercakap.
    Aku mengetahui namun tidak peduli; berusaha untuk tetap disini dan sekali lagi tidak peduli. Ada banyak hal yang tidak cukup kita abadikan bersama, karena setiap sama membawa dukanya, segala rasa yang kita pikir bahagia tetap menghadiahkan patah selanjutnya.
    Sudah? Sudah cukup tahu bahwa setiap kali mengingat akan ada perasaan yang tidak ingin kita miliki dan yang tidak bisa aku jelaskan keadaannya?
    Aku tidak lagi harus menampakkan dengan jelas tiap perasaan yang ada. Tidak perlu pula menceritakan kembali tentang kita yang bukan lagi sama. Memang tidak perlu menulis tentang ini. Kemudian aku ceritakan bahwa segala rasa sakit yang belum pernah ingin pergi tetap menjadi narasi dalam tulisan ini. Jadi, kuberitahu padamu sekali lagi, aku sudah terbiasa untuk menerima yang ingin aku benci, menerima yang paling membuatku tak peduli bahwa bahagia sedang ada di hari-hari panjang yang aku lalui.
      Aku sudah tidak peduli. Aku mengerti bahwa kasih sayang yang paling adalah yang semestinya ada dalam diriku sendiri. Keyakinan bahwa hal yang paling menerima ialah yang selalu bersama dan tidak pula menyakiti dalam bentuk apapun maksud dan tujuannya.
    Sampaikan pada dirimu sendiri bahwa aku sudah usai. Kita masih bisa tertawa dibalik luka-luka yang tercipta dari sebuah harapan yang tidak pernah memihak. Kita masih bisa senyum diantara cerita yang tidak lagi perlu terkenang. Kita masih bisa tumbuh tanpa mengingat rasa sakit masing-masing, dan tidak lagi aku perlu tahu bahwa tujuan yang pernah kamu inginkan bukan karena perasaan, dan kenyataan bahwa segala yang kita ingin bukan pilihan yang tepat.
     Aku masih menjelma menjadi ruang kosong dalam ingatanmu, bukan? Semoga selebihnya segala yang tidak aku harapkan dapat berwujud kenyataan, segala gelisah menjadi jawaban yang dapat memberiku ketenangan.
    Tenang. Ketenangan mengajariku untuk terbiasa melewatinya, pelan tapi pasti, aku tahu bahwa tidak pernah mudah untuk pura-pura lupa, dan cara yang masih aku lakukan setiap hari ialah;terbiasa.

Kalau kamu sempat bertanya sekali lagi? Kalimat mana yang seharusnya aku perhatikan dan aku percayai bahwa kembali akan menepati? Sudah tahu dan ingat, bahwa kesalahan tidak pernah akan terus terulang bila seseorang akan terus memperbaiki yang kurang? Sudah sadar diri bahwa bentuk penyesalan ialah permohonan dan bukan sekedar pulang kemudian hilang?

Wednesday, June 3, 2020

Kehilangan

     Pernah tahu saat kehilangan adalah sebuah mimpi buruk bagi seorang perempuan remaja yang bahkan hidupya tidak pernah merangkul bahagia sekalipun? Atau disaat dunia benar-benar runtuh dalam memberi rasa aman dalam tiap gelisah yang hadir tanpa pernah mahir untuk membuatnya sembuh total?
     Pernah paham rasanya menyembunyikan kesedihan yang tidak pernah ada ujungnya dalam tiap lembaran baru yang ia buka? Berusaha menjadi pribadi yang lebih baik supaya lega dan tidak lagi menahan kekesalan namun selalu gagal ia lakukan?
     Pernah tahu saat kehilangan adalah hal yang selalu ia takutkan setiap harinya, hal yang membuatnya tidak lagi sama menjadi seseorang yang utuh tanpa tahu dia sudah kehilangan banyak hal termasuk dirinya?
     Sudah? Bentuk tolong apa yang sebenarnya pernah ada untuk membuatnya berhenti menanggapi setiap rasa sakit yang ia simpan erat-erat?
     Dia bukan lagi perempuan yang tumbuh karena bahagianya yang memang mau. Bertumbuh--katamu? Adalah sebuah kata yang tidak lagi menjadi alasan paling manis untuk tetap hidup. Menjadi sebuah kata yang menyuguhi persamaan hak orang lain untuk tetap kuat meski semua tidak.
     Kamu manusia, kan? Pernah tahu saat seseorang tidak lagi bisa menyenangi kegemarannya karena dia sudah merasa berbeda dari sebelumnya? Pernah saat seseorang yang paling bahagia menjadi sebuah pecundang dalam dirinya? Yang tidak bisa mengontrol rasa sakit terdalam dan selalu membuat alibi yang dibumbui kalimat pemanis pada orang lain?
     Kehilangan menjadi salah satu alasan bagaimana rasa sakit yang pernah ia rasakan tidak lagi memberi hak istimewa untuk hatinya yang pernah baik-baik sekali. Sesekali, resapi kalimat manis yang pernah kamu suguhi padanya, tentang persamaan hak dalam setiap rasa yang ada, tanpa saling benci dan memalsukan keadaan, tidak usah pura-pura; bahkan semesta saja tahu rasanya kehilangan menjadi jawaban yang paling buruk dalam tiap keadaan.
    Sebelum kehilangan dia lebih jauh, bolehkah kamu sekedar datang untuk melegakan yang ada? Untuk merelai masalah yang tak pernah sudah? Untuk membentuk kalimat maaf yang pada akhirnya mampu membantunya untuk tetap kuat?
     Kamu kehilangan ia semakin jauh. Kehilangan dirinya yang pernah sampai di taraf bahagianya, kehilangan dirinya yang selalu memaklumi kesedihan.
     Semoga dia masih saja bisa bertanggung jawab untuk kebahagiaan dirinya, karena dunia tahu bahwa bentuk kehilangan yang paling akan bisa direlai dengan saling--meski pada akhirnya akan menjadi asing.

Monday, May 25, 2020

Dia

    Dia--satu dari sekian banyak orang yang kau temui dalam sisi gelapmu, namun ternyata lebih dari pengisi rumpang yang kosong dari rasa kebahagiaan. Kamu sebut dia sebagai cerita pengubur saat duka, penyembuh rasa hilang, pengisi kebahagiaan yang berlabuh pada rumah paling nyaman, membawa cerita terik penuh tawa tanpa takut rasa hilang.
    Kamu bilang, dia malaikat pengubur sendu, tempat orang-orang peluh mengadu pilu, menceritakan aib hari ini dan kesedihan yang tak terbendung lagi sebagaimana harusnya, kamu bilang, dia pandai bermain kata untuk menyembuhkan duka orang-orang, penggiat motivasi dan pengirim doa paling tenang, tempat yang teraman atas segala rasa hilang.
    Kamu menceritakan bahwa ia tidak berencana pergi--bahkan tidak akan pernah pada satu hari menjadi mati dan meninggalkan, senyap pada diri yang mulai mencari, bahwa sebenarnya kamu memang tidak akan pernah perlu mencari.
    Kamu bilang--dia selalu ada.
    Dia yang selalu kamu ceritakan namanya, kegiatannya, seakan jadi peretas segala hidupmu yang tidak baik-baik saja, terimakasih untuk menjadi berharga, untuk merasa dicintai seseorang dan tetap hidup; bahkan hiduplah sehidup-hidupnya.
    Kamu sebut kalau dia adalah sosok yang paling berkesan, memberi sebuah pesan sederhana yang mampu membuatmu terkesima amat terang, tentu saja hatimu akan tenang, tak perlu lari dan berhati-hati, dia bilang; dia tahu cara memperlakukanmu sebaik mungkin, tak perlu pula takut kepergian.
    Kamu tidak mengenal satu katapun selain kebahagiaan, kamu sebut dia sebagai tempat pulang yang paling, orang-orang bahkan menjadikannya sebagai tempat pelarian untuk kabur.
    Kali ketika pada akhirnya kamu goyah dengan segala ucapan yang sudah terakit begitu dalam, cerita yang selama ini meniadakan kecemasan, segala hal menjadi penting--ketika kamu pada akhirnya terlalu berharap pada seseorang yang lupa bahwa batas diperlukan agar seseorang tidak terlalu jatuh pada lubang terdalam.
    "Jatuh," Sebuah pesan yang memberimu beban atas segala yang kamu ingin, untuk orang lain, dimatanya, kamu bukan seperti harapannya, dia bukan segala ingin yang kamu ciptakan, dia tetap orang lain yang sesekali bisa tidak sadar bahwa kesalahan yang fatal telah ia lakukan, kesalahan atas harapanmu yang menjunjung kebaikannya paling erat berakhir bualan yang kamu inginkan, bahkan tiap detiknya.
     Dia ada untuk tumbuh sebagai dirinya, dia bukan serpihan imajinasi yang tumbuh bermekar seperti inginmu, dia ada untuk dirinya yang sesekali bisa saja berbuat, atau pada kenyataan kalau segala harapanmu bukan kenyataan yang dia inginkan.
     Lepaskan, jangan beri beban di hatimu.
     Berbesar hatilah, pada akhirnya kamu harus mengubur dalam-dalam, lepaskan segala harapan yang tidak pernah bisa sampai,
Dia ada hanya untuk meninggalkanmu.

Saturday, May 9, 2020

Kemarin

     Kemarin, aku menemukan patah yang paling, menjadi penggiat sandiwara dalam peran yang sesungguhnya rapuh, berusaha memainkan pencitraan yang  memenuhi ruang tawa--yang tak kunjung menemukan titik tengah dalam kebahagiaan, bahkan satu dari banyaknya orang asing yang datang selalu jadi hal yang tak mengubah apa-apa karena segala yang memang sudah.
    Kemarin, aku mengaduh pada diri sendiri. Aku menyatakan teori tentang segala rasa sakit, menjadi yang paling terlihat berbeban di mata orang-orang. Beberapa mulut datang mengobral kata-kata dukanya. Pelukan hangat menjadi pereda luka yang tak kasat mata. Ruang mereka menjadi penenang, dan bahkan pemenang keadaan.
    Kemarin, aku tidak pernah bisa berlari kencang, tidak lagi dapat tersenyum hebat dengan hati yang tenang. Menutup segala katup supaya tidak ada yang dapat menembus rasa sedih terdalam. Beban yang aku simpan erat-erat memperlambat mimpi yang selalu aku ekspektasikan, pelan berjalan, ternyata semakin lemah, aku jatuh dalam bayangan mimpi buruk yang bahkan selalu mengganggu kebahagiaan.
     Kemarin, aku jadi terburuk dari segala yang paling. Hingga mampu meneguk, dan akhirnya aku sampai pada titik melupakan.
Kebahagiaan itu bukan tentang mengingat yang lama--terlambat sadar, bahwa kesedihan itu bukan rencana yang Tuhan adakan untuk memperburuk perjalanan.
    Kemarin bukan yang terakhir, kan?

Friday, April 24, 2020

Pulang

    Banyak tokoh yang menjadi rumah singgah. Ada yang belajar caranya berpura menjadi tempat ternyaman. Ternyata pulang hanya tentang hal sederhana, kita sama-sama satu muara yang kunjung mengaminkan bersama.
     Banyak hal yang orang bilang tentang pulang. Rumah, kemudian dongeng-dongeng patah yang mampu ditampung seseorang, tempat cerita atas bebannya hidup, sumpah serapah atas matinya hati karena sedang dilahap habis orang yang pergi, satu dari banyak kosa kata beda arti yang mendefinisikan pulang sebagai cerita yang menampung lelah dan segala yang tak tearah.
     Pulang bagiku bukan cuman datang kemudian pergi. Satu dari banyak makna tersirat yang aku artikan sebagai kebahagiaan kecil sesudah mati rasa, atau lega yang aku utarakan setelah beban yang tak cukup kuat aku gantungkan sendirian, pulang menjadikan aku bahagia pada seseorang, yang memberi satu bentuk cinta tanpa ada ucapan didalamnya, membuat aku memberi senyuman bebas tanpa takut ditinggal, memberi bahagia dalam keadaan yang sedang menjadi beban di pundak, entah karena hal yang tak kunjung aku temukan atau saat kehilangan. Keluhan yang lucu memang. Tapi pulang tidak pernah memberimu tempat terjatuh, sampai kali ketika malu menjadi datang hanya karena penyesalan pernah meratapi keadaan yang semestinya hilang.
     Untuk orang yang menjadi tempat pulang setelah kelelahan hebat, setelah tidak pernah waras dalam satu cerita yang seakan-akan berlebihan, terimakasih untuk tetap menggangguk dan merangkul meski keadaannya tidak perlu perhatian, terimakasih untuk menerima dan menghidupkan seseorang yang hatinya sedang mati karena harapan yang tak sampai pada kenyataan.
     Terimakasih untuk menjadi rumah yang tidak perlu menopang tapi mampu menerima cerita yang entah keras kepala atau berlebihan.
     Semoga tempat kepulangan kita semua adalah tempat yang tepat. Yang tidak perlu memihak namun meyakini bahwa kita tak sepenuhnya salah. Yang tidak memberi saran terbaik tapi mampu mendengar. Yang meredakan ambisi tanpa perlu kata-kata yang menghadirkan luka. Yang mewajarkan kesedihan dan ikut memberi masukan. Yang padanya kita tumbuh menjadi lebih baik. Yang tidak tau menau lagi tentang rasa sakit.
     Semoga pulang kita adalah rumah terbaik dari segala yang patah dan mengganggu keseharian. Semoga pulang kita selalu mengingatkan untuk tetap memberi kedamaian dalam perasaan.
Temukan tempat kepulangan terbaik, yang padanya--kau ada.

Saturday, April 4, 2020

Kalah

     Aku menemukan satu titik temu dalam mimpi yang telah lama pupus. Sakit tapi tidak berdarah--sebagian orang mengatakan bahwa kebahagiaan dapat dirangkai dengan mudah. Aku tergerus dan terjerumus oleh segala perasaan yang aku rangkai sendirian, yang orang tidak pernah paham rasanya, yang orang tidak tahu tentang bagaimana caranya pura-pura tidak apa-apa.
     Aku merangkai cerita hidup seideal yang orang ingin. Tapi kenyataan bukan hal yang memihak, segala yang aku susun indah bukan jadi cerita penyelamat gundah. Aku terjerumus pada hal yang kupikir tak perlu terlalu mengusik bahagia yang aku ciptakan, tapi ternyata menjadi cerita yang bersemedi lama dan betah untuk tetap tinggal. Kalah, aku terlampau kalah oleh keadaan, oleh rasa penasaran, oleh kenangan, oleh seseorang, oleh orang-orang lain yang tidak pernah sadar.
     Ada yang harus kehilangan lebih dulu untuk tau artinya sembuh. Ada yang harus merajut sendu untuk memperbaiki pilu. Ada yang yakin bahwa sebuah hal dari patah yang tidak pernah diharap adanya, akan menjadi cerita menyenangkan yang tidak terduga.
     Tapi tetap saja. Teoritis selalu menjadi cerita teraman dari banyak rasa sakit. Aku khawatir, segala yang aku pikir usai, akan selalu kembali dengan cerita yang sama. Ada banyak kejadian yang aku khawatirkan ada, hanya untuk menyakinkan sepenuhnya--bahwa aku masih saja menata patah hati dalam bilik kosong paling kecil dalam perasaan; dan aku kalah oleh rasa sakit.
     Aku kalah oleh hal yang aku benci, yang sebenarnya aku tidak perlu ingat, mengingatnya sama saja kalah.

Monday, March 23, 2020

Asing

Aku pernah menjadi asing karena seseorang, menjadi yang paling membenci diri dan ribut dengan perasaan sendiri. Aku pernah menenggelamkan diriku pada hal-hal yang tidak aku senangi, masuk sebagai bayangan yang selalu berpura-pura, mendiamkan segala kenyataan dan bahagia hanya sekedar khayal yang sulit aku temui.

Aku pernah menjadi asing. Sesuatu yang menjerat sebuah luka tanpa pernah bisa aku paksa ketiadaannya, sesuatu yang menyuruhku tenggelam dalam jurang paling dasar, tanpa mempersilahkan untuk kembali berdiri, serta tanpa ucapan maaf meski satu kali. Satupun, sekali-kali harapanku terlalu tinggi, tanpa sadar, yang aku selami hanya rasa sakit, bukan kebenaran yang membawa bahagia.

Aku pernah menjadi hilang. Kehilangan pada diriku sendiri yang ternyata sulit mengartikan hal-hal lain. Sulit menerima, sulit menjalani, rasanya dikekang pada keadaan yang selalu aku khawatirkan, keadaan dimana peluh selalu aku sembuhkan dengan tarikan nafas panjang; berusaha agar sesak selalu kalah dan tidak lagi ada.

Aku sampai menjadi yang orang lain ingin--tanpa sadar tidak pernah menjadi apa yang aku impikan. Aku jauh dari cita-cita. Aku sulit mencapai segala bahagia. Aku tidak menemukan diriku pada apa yang aku jalani, dan terakhir; aku lupa kalau sedang berpura-pura.

Monday, February 24, 2020

Sembuh

Semesta kadang bercanda. Seseorang yang tidak pernah harap datangnya kini memberi kehadiran yang tetap sama--berbincang dengan elok tanpa ada rasa bersalah dan menjadikan dirinya sebagai seseorang yang paling sempurna. Kehadiran yang mengacau sepersekian detik rasa bahagia dan ketenangan--menjadi yang paling ingin dilihat anggun dan luar biasa--mengacau segala senang dan melukis kembali luka lampau.

Tidak pantas rasanya untuk hanyut pada sebuah kata maaf setelah selesai. Mempercayai perkataan tajam yang menyimpan maksud yang tak diharap. Mengiyakan dan menerima dengan mudah segala rasa sakit yang sudah mulai sembuh. Banyak hal yang aku pikir lebih baik untuk menjadikan masa lalu sebagai kenangan yang sekedar--tanpa berpikir bahwa pada akhirnya luka-luka lama semakin melebar.

Tidak pernah saya harap datangnya rasa sakit yang terus hinggap. Begitu betahnya berada pada dinding yang telah kokoh hanya untuk sekedar masuk dan menghancurkan kebahagiaan. Seperti menyenangkan ketika masuk pada sebuah keadaan bahagia, yang pada akhirnya membawa duka paling menyakitkan.

Saya salah, ternyata hal yang saya pikir baik--tidak pernah menjadi hal yang baik. Semua gagal. Jika disuruh memilih, saya ingin kembali sedia kala--sebab saya ingin pulih.

Tapi kadang,  skenario yang saya inginkan tidak pernah dimengerti oleh seseorang. Keinginan saya terhadap hal yang baik telah dihancurkan oleh keadaan yang buruk. Segala semoga yang saya rangkai ternyata dengan mudah menjadi permainan yang seakan mudah digapai. Saya ingin berontak pada rasa benci ini, tapi saya sadar bahwa semakin saya melakukannya semakin saya tidak bisa berdamai.

Saya ingin memaafkan. Tapi saya sulit melupakan.

Luka itu tidak pernah sembuh sederhana--dan saya selalu mencari tahu cara untuk tidak lagi
mengekangnya didalam ruang senyap dan meleburkannya pada mimpi-mimpi yang saya semogakan.
Entah berakhir kapan--saya hanya butuh baik-baik saja.
Pada segala mimpi yang semoga nyata--akan saya sisakan rasa ikhlas untuk sebuah bahagia.

Semesta adil, kata saya. Dan kebahagiaan dari seseorang yang menyakitkan, akan selalu bisa dirampas oleh rasa sakit seseorang.

Sunday, February 2, 2020

Saling

Perasaan itu bukan tentang menyampaikan dan menerima, didalamnya ada sebuah proses panjang yang tidak bisa dipelajari satu kali--bahkan saat kita menjadi diri sendiri dan perlahan pergi, semua tetap butuh belajar.

Aku butuh menelaah lebih dalam tentang apa yang kusuka, lebih unggul tentang segala yang aku senangi, tanpa didalamnya perasaan yang tak perlu aku ingat sejauh apa aku berlari ketika aku sedang membenci diri. Aku juga sedang jatuh cinta pada setiap hari-hariku. Memandang garis tangan orang lain sembari tersenyum menjadi hal yang menyenangkan. Ikut beraktivitas pada setiap langkah yang aku takuti. Aku senang menjadi pembelajar ulung yang tidak tau menau tentang benci pada sebelum-sebelumnya.

Setelah aku bebas sekarang, duniaku ternyata memang lebih menyenangkan. Tidak lagi aku perlu mengingat kesalahan seseorang hanya karena sulit memaafkan--atau bagaimana caranya supaya menjadi yang pemaaf untuk orang lain. Semua rela dan berjalan semenyenangkannya.

Sampai disuati titik, aku kelelahan mengejar rutinitas yang menyenangkan ketika pada akhirnya luka-luka di masa lalu kembali berdatangan.

Tidak lagi rasa patah yang telah lalu menjadi titik tertinggi yang unggul kali ini.

Suram sudah, semua tidak lagi berjalanan beriringan, semua berbeda, dan tidak ada langkah yang membawa pada satu bentuk suka cita tanpa berani menelantarkan. Ruang itu sudah sendirian, tidak lagi butuh kepercayaan yang tanpa nyata karena semu selalu menjadi dusta paling berbahaya.

Tidak menarik kalimat baik yang orang lain sampaikan. Maksud itu tidak pernah semulus yang katanya tulus. Tentang menerima--bisakah aku melewati satu kesempatan yang paling tidak pernah aku harap datangnya?

Aku masih menjadi seseorang yang tetap. Berada pada satu atap yang menyenangkan berjalannya. Tidak tentang cerita orang lain ataupun hal yang menyakitkan, membenci adalah keinginan, tapi aku sadar bahwa ikhlas adalah awal dari kebahagiaan.

Pada akhirnya, setelah aku menjadi seseorang yang tetap, aku tidak ingin selalu menjadi yang paling erat untuk digenggam. Bukan lagi yang harus selalu dipaksa. Bukan lagi yang harus selalu memahami. Bukan lagi yang tangguh karena rasa sakit yang tidak pernah dipaksa atas kehadirannya. Bukan lagi penyejuk ketika aku sedang sendu dibelakang.

Aku, bukan kepulangan yang harus selalu kamu wajibkan.
Didalamnya, aku terhumus luka yang dengan sendirian merasa baik-baik saja.
Didalamnya, aku berpeluang untuk sakit meski terlihat tidak apa-apa.

Tetaplah menjadi beda yang tidak ingin sama-sama mencari karena tahu saling adalah sebuah cara untuk terus melukai.

Aku butuh baik-baik saja untuk berhenti mencari tahu kembali tentang kehilangan.
Aku, menjadi seseorang yang tidak lagi ingin meneguk pilu, karena tahu--didalam sebuah pilu, ada segala rasa yang berbahaya, yang akan membuatnya jatuh kembali pada jurang yang mungkin sama.

Saling berhenti mendahului takdir yang tidak mungkin pernah berpihak, kita selalu harus belajar bahwa bentuk mengamankan perasaan adalah saling melepaskan.

Friday, January 24, 2020

Halo aku.

Halo aku! Terimakasih banyak untuk memberi kesempatan bertahan. Berjalan sejauh ini  dengan langkah yang kadang terbata--atau rasa lelah yang terus menerus lebih hebat. Tapi kamu mampu.

Halo diri!
Entah harus mulai dari sebuah mana, perjuanganmu kadang melelahkan. Tapi juga menyenangkan. Kadang lelahmu selalu dapat kamu andalkan, juga setiap jenuh yang kadang kamu atasi sedemikiannya.

Meski kamu kadang insecure, entah karena ketika kamu melihat orang lain lebih hebat, atau pikiran bahwa orang lain lebih menyenangkan, mereka lebih-lebihnya, tapi kamu tetap bisa memposisikan diri berada diantara orang-orang hebat. Kamu bisa juga berbaur dan melatih rasa cemas berlebihan, kamu mampu keluar dari zona nyaman dan membangun komunikasi dengan baik meski perlahan-lahan.

Meski kamu kadang kurang yakin sama suatu ekspektasi, tapi kamu lega. Lega karena kamu tahu bahwa bukannya sedang gagal, tapi berhasil belum semaksimal mungkin. Kamu belajar untuk jera dari kesalahan, belajar menjadi yang bawah untuk mencapai yang atas, belajar yang mendewasakan diri atas apa yang akan dan sedang kamu hadapi.

Meski kamu kadang bingung harus mulai darimana untuk berkomunikasi, kamu sudah berusaha semaksimal mungkin. Kamu tak peduli pada canggung yang hebat dan rasa takut yang kuat. Kamu bisa mengalahkan segala bentuk yang berontak dan selalu menumbuhkan tekad.

Meski kamu dan cerita meski-meski lainnya--terimakasih untuk menjadi diri aku yang mampu menerimaku sebaik-baiknya. Menjadi pemerhati orang-orang.  Menjadi yang sulit untuk segala sulit. Tapi menyenangkan rasanya belajar. Menyenangkan mencari tahu tentang kenyataan.

 Halo aku, terimakasih untuk segala bentuk kasih sayang yang paling, untuk segala usaha yang sesekali melelahkan, terimakasih bertahan. Terimakasih untuk mencintai aku seutuhnya.

Terlalu lama

Terlalu lama, terlalu rapuh, terlalu keruh untuk menerima hidup yang tak sepenuhnya utuh. Bagaimana kabarmu? Aku melihatnya lebur, mungkin t...