Sebelum aku menemukanmu dan kita enggan bersua hanya karena sebuah perasaan yang tak kunjung mengaitkan arti pertemuan, kamu membunuh mati-matian harap hidup seseorang. Pertemuan yang tak logis dan dipaksa menang menjadi pecundang hebat dalam keadaan kita yang sebenarnya rapuh. Tiap apa yang kita paksa sama tak pernah menjadi pulang yang menyenangkan, berandai bahagia tak membuahkan hasil. Kita hidup memaksa kehendak Tuhan dan mengurung duka yang kita buat hingga menjadi lebam. Satu dekade atau sewindu yang tak pernah kuhitung berapa angka yang harus betah bertahan dalam perasaanku, hingga detik ini sampai--segalanya sudah selesai, tak lagi aku memaksa menerima yang tak pernah kuharap ada dalam kehidupan--karena aku sudah merekahkannya tanpa perlu mati-matian melupa.
Hujan yang entah mungkin sudah sampai kali kelima belas, dan tak
tertebak berapa kali ia datang dalam ukuran tahunan, tangisan hujan yang
lalu selalu menuntunku istirahat; sama seperti biasanya. Tidak lagi tahu tentang masa lalu yang tak sepenuhnya harus mengisi ruang hidupku. Tidak perlu melukai perasaan yang tak bersalah, tidak perlu pula melawan rasa sakit karena perasaan yang pernah ada, dan sekarang; sesempatnya setelah hujan kali ini selesai, kubiasakan adanya keadaan yang sempat singgah lama dan memberatkan perasaan. Hujan menuntunku untuk tidak lagi mendesak rasa sakit dan sewajarnya saja, karena aku sudah belajar banyak.
Sudah kali kesekian hujan datang, kuhitung semenjak perpisahan menjadi ruang temu terakhir, tepat lima belas kali ia berganti cuaca yang tak bisa kutebak satu kali dua puluh empat jam, aku menemukan diriku lebih handal dari biasanya. Memahami bahwa semakin rapuh akan semakin hancur, mengingat sama saja bohong, menuangkan kenyataan pada sebuah objek kosong yang kusebut masa lalu selalu menjadi hal yang tak akan pernah selesai. Aku melepaskan yang tak pernah aku inginkan, meluapkannya pada hujan kelima belas.
Hujan kelima belas tidak pernah memaksa. Tidak tentang bagaimana aku perlu memaafkan kesalahan seseorang, menunggu ucapan belasungkawa atas kejadian yang selalu aku keluhkan, menjadi jaminan kekhawatiran manusia lain karena keadaan, menerima secara paksa tentang diriku yang sekarang.
Hujan kelima belas pada akhirnya meraup sisa-sisa beban yang aku samarkan setiap hari, yang kurangkai dalam satu cerita panjang dengan berat hati, dan kuukir diselembaran ingatan yang pada akhirnya tak bisa kubuang.
Hujan kelima belas ini, kuberitahu pada diriku tetang tidak perlu larut mengembalikan pada keadaan sedia kala.
Pada hujan kelima belas, aku sudah sampai pada keadaan yang tidak pernah kutuntut banyak. Tidak karena keadaan yang kukeluhkan pura-pura bahagia--atau karena tidak mampu mengatakan baik-baik saja--atau sama dengan mengeruhkan keadaan agar bertahan lebih lama--dan karena menikmati banyak khawatir yang selalu aku cegah untuk segera sembuh dan selesai.
Tapi karena aku mencintai hujan kelima belas.
No comments:
Post a Comment