Saturday, July 11, 2020

Bila

Kemarin, dia mengikutsertakan aku dalam harap selepas mengadu pada langit-langit semesta, memohon untuk tidak menjadi pecundang seseorang, menguntai doa yang paling membuatnya senang, berbahagia dengan apa yang sudah dia miliki sampai sekarang.

Kemarin, dia bersuka cita. Merayakan satu tahun bentuk kesedihan yang mampu ia tampung setelah dipaksanya menggantung. Satu tahun bukan waktu yang sebentar untuk mencoba lupa dan terbiasa pada sendu yang tak pernah berhenti berkhayal, menyikut ruang kosong setiap ia memendam, akhirnya tumpah; sekali lagi selalu muncul tiba-tiba tanpa pernah tahu rasa bersalah.

Kemarin ia menjadi sempurna, ia melupakan yang sudah, mengobati luka dengan mudah. Menuai aku sebagai obatnya selepas masalah. Bahagianya datang padaku, pada ribuan cerita yang pada akhirnya sampai padaku. Lukanya sembuh olehku, dia bilang, cukup sulit untuk menyudahi perasaan dulunya, tapi bersamaku; ada banyak hal ringan yang bisa membuatnya tertawa dengan lepas dan tidak mengundang ingatan saat kali kita bercengkrama.

Dia bilang padaku bahwa ceritanya tidak akan ia ingat lagi saat hujan, tidak ia pikirkan saat diam menatap rona jingga, tidak ia ingat saat tertawa dengan teman, tidak ia beri hembusan nafas lega saat ia sedang melamun menatap langit-langit kamar, tidak pula ia samakan aku dengan kisahnya yang sudah.

Dia bilang aku menjadi peluluh, meluluhkan perasaan ketika dia tidak bisa menghadapinya, menyudahi setiap kali dia ingin marah, menenangkan saat dia kecewa, menyadarkan bahwa hidup bukan cuman tentang yang ia inginkan dan orang lain mengalah. Dia selalu; tanpa tahu aku lelah.

Dia, sampai aku tidak pernah lagi paham tentang menyerah. Terlihat giat supaya menjaga perasaannya, terlihat senyum tanpa pernah tahu isinya, terlihat baik tapi tidak mengerti dalamnya, sampai dia tak pernah tahu bahwa aku bukan harus seperti yang seharusnya ia pikirkan.

Bila bahagia yang dia butuhkan adalah sederhana, maka aku bukan pemenang.
Aku tumbuh dengan harapan yang tak pernah akan aku sia-siakan, dan pada akhirnya aku ingin memanja rasa yang selalu aku semoga.

Bila bahagia yang dia cari adalah seorang pengganti, maka aku bukan jawabannya.
Aku ingin hidup karena diinginkan, bukan karena penyembuh yang selalu dianggap mampu ketika ia sedang tidak pernah baik-baik saja.

No comments:

Post a Comment

Terlalu lama

Terlalu lama, terlalu rapuh, terlalu keruh untuk menerima hidup yang tak sepenuhnya utuh. Bagaimana kabarmu? Aku melihatnya lebur, mungkin t...