Saturday, May 9, 2020

Kemarin

     Kemarin, aku menemukan patah yang paling, menjadi penggiat sandiwara dalam peran yang sesungguhnya rapuh, berusaha memainkan pencitraan yang  memenuhi ruang tawa--yang tak kunjung menemukan titik tengah dalam kebahagiaan, bahkan satu dari banyaknya orang asing yang datang selalu jadi hal yang tak mengubah apa-apa karena segala yang memang sudah.
    Kemarin, aku mengaduh pada diri sendiri. Aku menyatakan teori tentang segala rasa sakit, menjadi yang paling terlihat berbeban di mata orang-orang. Beberapa mulut datang mengobral kata-kata dukanya. Pelukan hangat menjadi pereda luka yang tak kasat mata. Ruang mereka menjadi penenang, dan bahkan pemenang keadaan.
    Kemarin, aku tidak pernah bisa berlari kencang, tidak lagi dapat tersenyum hebat dengan hati yang tenang. Menutup segala katup supaya tidak ada yang dapat menembus rasa sedih terdalam. Beban yang aku simpan erat-erat memperlambat mimpi yang selalu aku ekspektasikan, pelan berjalan, ternyata semakin lemah, aku jatuh dalam bayangan mimpi buruk yang bahkan selalu mengganggu kebahagiaan.
     Kemarin, aku jadi terburuk dari segala yang paling. Hingga mampu meneguk, dan akhirnya aku sampai pada titik melupakan.
Kebahagiaan itu bukan tentang mengingat yang lama--terlambat sadar, bahwa kesedihan itu bukan rencana yang Tuhan adakan untuk memperburuk perjalanan.
    Kemarin bukan yang terakhir, kan?

No comments:

Post a Comment

Terlalu lama

Terlalu lama, terlalu rapuh, terlalu keruh untuk menerima hidup yang tak sepenuhnya utuh. Bagaimana kabarmu? Aku melihatnya lebur, mungkin t...