Terlalu lama, terlalu rapuh, terlalu keruh untuk menerima hidup yang tak sepenuhnya utuh.
Bagaimana kabarmu?
Aku melihatnya lebur, mungkin telah membaur dengan sayup-sayup kenangan bahagia yang sekarang tiada rupanya. Kalau aku boleh bertanya, atau membersamaimu sekali saja--aku ingin mengucapkan terimakasih karena sudah berkenan menghabiskan waktu bersama denganku. Ada juga kata maaf dan senyum yang tak bisa kusimpulkan apa maksudnya, karena kamu tahu bahwa setelahnya aku harus kembali memaksa bibir untuk menarik simpul kebahagiaan, yang aku tak tahu bagaimana memulainya.
Bahagia yang kau tahu, tak akan pernah sama setelahnya.
Aku telah kehilangan sedikit rasa peka dan ekspresif dari segala kekhawatiranku. Kupikir aku akan tersenyum, selepas aku kehilangan seseorang sekali lagi. Tidak tahu rasanya dan bagaimana keadaannya, ini terlalu sakit untuk diteruskan dan diingat, karena ingatan membawa memori, sedangkan memori tidak bisa kembali. Dan kau tahu, yang selalu aku doakan adalah bagaimana kita bisa kembali.
Dengan ini, setelah aku kehilangan, ada rasa yang juga ikut hilang ditelan angan. Raga dan segala peluh lukaku yang tak bisa aku perbaiki dan kususun bongkahannya. Maka berdoalah, berdoa agar kepergianmu bisa membawaku hidup damai, dan tidak pernah berantakan.
Aku mohon satu hal, bawa bahagiamu dan simpan erat-erat. Biar kukulum segala pilu yang tak seharusnya menjadi bebanmu. Akan kuhidupkan rasa bahagiaku didalam ambang sendu. Tak tahu caranya, tak tahu memulainya, maka aku akan memulainya dengan mengikhlaskanmu.
Bukankah ikhlas tidak pernah menertawakanku?