Tuesday, March 2, 2021

Apapun yang dipaksa.

     Dia menenggelamkanku pada jurang kebahagiaan yang tidak pernah lelah mengejar--dan menunggu waktu terbaik untuk jatuh pada pelukan yang aku pikir salah. Kemudian, menjadi petir dan merenggut rasa berani yang kupikir ia memang tidak baik-baik saja. Ditemani rasa ketakutan yang kulahap habis-habisan karena kegelapan dan kekacauan sudah tumpah diujung rasa penantian. 

     Maka, melihat bola matanya sama saja menjadi kekacauan paling menyeramkan keadaannya. Lebih daripada ketakutan karena ia menungguku erat-erat. Dan kubiarkan aku bersandar sementara, meski tempat yang curam dan langit abu-abu sudah menang dalam membius rasa ketakutanku.

Ia mengkhawatirkan aku tak sampai, tanpa pernah khawatir bahwa aku berpikir jatuh tidak masalah kecuali pada tempat yang salah.

     Dia menjadi nyali sekaligus rasa tak biasa yang selalu ada dalam perasaanku. Berkokoh menjadi korban paling perhatian tanpa pernah berniat mematahkan. Mengurung perasaan lengangku dan menghindar dari rasa kesepian yang aku ciptakan. Selayaknya ia benar-benar menjadi jurang yang tak berbahaya karena berjanji jatuh padanya tidak akan pernah ada luka.

     Dia menyelematkan perasaannya, memperoleh bahagianya, menghasilkan angan yang tidak pernah lelah mengejar target mendapatkan mimpi yang ia inginkan. Dia mendapatiku bahwa tak pernah ada penyesalan ketika harus sekali lagi memulai awal bagaimana berjuang untuk menjadi kuat diantara banyak pilihan dan keadaan.

     Aku memberikan perasaan teraman dan ternyaman pada seseorang yang tak pernah sekalipun berkelana mahir dikepalaku sendiri bahwa kebahagiaan yang ia ingini tidak pernah menang dalam menangkis kesedihanku sepenuhnya.

Pura-pura dipaksa, pura-pura tidak papa. 

Dan aku mati untuk itu.


No comments:

Post a Comment

Terlalu lama

Terlalu lama, terlalu rapuh, terlalu keruh untuk menerima hidup yang tak sepenuhnya utuh. Bagaimana kabarmu? Aku melihatnya lebur, mungkin t...