Saturday, October 24, 2020

Hangat

     Aku bersandar pada hangat yang selalu menyejukkan suasana. Menyapu beban yang mahir mencekramku kuat-kuat, penat menjadi kata biasa yang tak pula aku tahu mengapa betah tinggal. Kemudian aku menemukan rumah paling nyaman; yang mendekap kuat hingga tidak lagi kedinginan, yang menopang gelisah ketika perasaanku terasa sangat berantakan, yang membawa kelana dan menemukan hangatnya suasana.

    Dia tahu caranya tetap tinggal. Dia tahu caranya bermukim dengan keadaan yang nyaman. Dia dan segenap rasa pedulinya memberiku suam yang begitu menyejukkan. Dia membawa perasaanku yang kosong menjadi tenang yang begitu senggang. Dia selalu bisa menjadi pelindung ketika perasaanku semakin dingin.

     Kemudian dia berpindah cara untuk berhenti membuatku baik-baik saja. Dia tidak lagi membawa ketenangan--hangat yang kian menipis karena perasaan yang tidak lagi semekar biasanya. Tidak lagi ada yang merasa aman karena punya pundak paling kokoh ketika bersandar, atau tempat yang selalu damai membawa bahagia yang ramai.

Dia tidak menjadi spesial seperti biasanya.

     Aku menemukan diriku. 

Tidak ada kebahagiaan yang bisa aku titipkan pada siapa-siapa, bergantung tidak selalu menyeluruh, berharap tidak harus selamanya.

Aku bahagiaku. Pesan dari sisi kelam dan segala keluhku yang dia cakap untuk mengobati perasaan; 

 Dia bukan sumber kehangatan yang aku butuhkan, dan tidak akan pernah bisa mengobatinya.

Aku akan tetap menyayangiku, sampai lupa sudah sejauh mana aku titipkan perasaan yang tidak akan pernah bisa aku dapatkan.

Friday, October 9, 2020

02.22

Simpang siur; seluruh pikiranku berkelana kabur. Melebur dalam ramai melihat sesak, menjadi pemerhati sekitar yang tak satupun mengeluhkan sesal.

Aku bercengkrama dengan riuhnya hening malam--yang menuntun untuk pulang pada arah yang tak pernah membawa kabar baik pada perasaan, menyuruh takdir bermain peran paling estetik tanpa pernah menjadi peduli pada perasaan yang sudah lama gagal. Mereka bilang; tidak apa-apa.

Satu kalimat yang membawaku jauh lebih buruk dari pada selepas aku menanggal yang aku usahakan.

Kepalaku masih saja berputar; redup dan setiap ingatan yang kabur menjadi tak kasat yang semakin gelap, keluh pada tuntunan waktu yang memanggilku hingga sekarang, membiarkan isi dari sepenggal kepala melalui pikirannya yang bermacam-macam.

Sudah terbiasa, pikirku.

Aku bilang pada diriku bahwa semuanya tidak lebih buruk dari mustahil yang aku rangkai. Membawaku menikmati malam dengan membawa nostalgia yang entah tentang apa saja. Semua bermukim pada satu cerita tentang cemas yang selalu menang. Mengkhawatirkan setiap bencana yang belum tentu melebihi rencana. Meragu hanya akan kehilangan akal yang tidak lagi membawa kesedihan tapi juga putus asa.

Kusampaikan pada perasaanku sekali lagi;
Perasaanku baik-baik saja--

Untuk kemudian menyenangi yang aku lintas sesekali, tidak perlu merakit emosi hanya karena pikiran sedang bersenang-senang, mengizinkan ia menyelami lebih dalam--kubiarkan masuk pada keheningan yang kemudiannya menyadariku bahwa;

Menjadi aku adalah hal paling luar biasa.

Sunday, October 4, 2020

Ruang Tunggu

     Ruang tunggu tak harus selalu bermukim manis dipelataran rumah seseorang, satu dari banyaknya pertemuan yang tak perlu kuusahakan berakhir berantakan hanya karena sedang tidak siap mengingat yang tak seharusnya--atau tak siap memulai tumbuh seperti sedia kala. Sudah terbiasa untuk mewajarkan; itulah salah satu pikiran yang selalu memenangi setiap langkah temu yang mengizinkanku untuk membiarkan ia masuk, mengizinkan langkah kaki menemui seseorang yang sudah mati-matian berusaha lupa, mencoba untuk tetap membiarkan redup dan meninggalkannya sendirian, kemudian lupa.

     Ruang tunggu menjadi tidak peduli, perasaan yang selalu aman tanpa perlu waspada menangis sekali lagi; tidak perlu tahu kembali tentang merasa redup hanya karena tidak lagi sanggup, tak lagi menjadi peran paling manis dalam tiap kesedihan. Aku tidak perlu menemukan apapun, tidak pula perlu tahu kemana arah tuju yang ia susuri, tidak perlu menunggu rumah yang tak pernah menyadari seperti apa aku menggenggam erat, memeluk hebat; dan selalu lekat.

     Aku menemukan arah yang pasti, waktu yang membawaku pada kebahagiaan-kebahagiaan kecil yang kunikmati kini, tidak lagi peduli, tidak pula menolak garis takdir. Aku mulai mahir menyusun diri, menikmati pilihan yang memenangkan inginku tanpa perlu mengoles berbagai cara. Ditengah-tengahnya, tidak pula kugantungkan kekhawatiran paling mendalam untuk seseorang--siapa saja ia yang memberiku celah untuk mengingat, memusatkan perhatian yang tak seberapa; dan tega meracau garis bahagiaku. 

    Sejak menjalani pilihan yang kususuri, ada banyak langkah untuk tetap menjaga ruang tunggu paling rahasia. Aku tidak perlu menunggu. Tidak perlu akal-akalan hebat hanya karena bersaing, aku tidak perlu menuruti perasaan orang-orang yang memberi ego dan besar harapannya padaku. Kutemukan arti temu tanpa perlu berat hati terbeban, kubiarkan ia menunggu tanpa perlu pernah kasihan pada keadaan yang sedang bahagia. Kubiarkan berjalan pada satu jalan lurus yang tidak pernah saling menyapa.

    Aku tetap, dan akan menikmati ruang tunggu berhargaku.

     Biarkan aku berbicara didalam senyap, mengaminkan doa yang kupikir berharga, mengedepankan yang aku pinta. Membiarkan segalanya hinggap pada waktu yang tak pernah memberi batas, karena sampai pada alasan tidak lagi perlu menunggu.

     Rumah kita bukan sebuah ilustrasi cerita yang tersusun rapi diantara imajinasi, setiap apa yang sudah kita ukir dengan ruang tunggu berharga sekalipun; tetap menjadi amin masing-masing.

    Maka, kulepas ia tanpa pernah perlu aku rangkai.

Terlalu lama

Terlalu lama, terlalu rapuh, terlalu keruh untuk menerima hidup yang tak sepenuhnya utuh. Bagaimana kabarmu? Aku melihatnya lebur, mungkin t...