Wednesday, September 16, 2020

Hujan kelima belas.

  Sebelum aku menemukanmu dan kita enggan bersua hanya karena sebuah perasaan yang tak kunjung mengaitkan arti pertemuan, kamu membunuh mati-matian harap hidup seseorang. Pertemuan yang tak logis dan dipaksa menang menjadi pecundang hebat dalam keadaan kita yang sebenarnya rapuh. Tiap apa yang kita paksa sama tak pernah menjadi pulang yang menyenangkan, berandai bahagia tak membuahkan hasil. Kita hidup memaksa kehendak Tuhan dan mengurung duka yang kita buat hingga menjadi lebam. Satu dekade atau sewindu yang tak pernah kuhitung berapa angka yang harus betah bertahan dalam perasaanku, hingga detik ini sampai--segalanya sudah selesai, tak lagi aku memaksa menerima yang tak pernah kuharap ada dalam kehidupan--karena aku sudah merekahkannya tanpa perlu mati-matian melupa.

    Hujan yang entah mungkin sudah sampai kali kelima belas, dan tak tertebak berapa kali ia datang dalam ukuran tahunan, tangisan hujan yang lalu selalu menuntunku istirahat; sama seperti biasanya. Tidak lagi tahu tentang masa lalu yang tak sepenuhnya harus mengisi ruang hidupku. Tidak perlu melukai perasaan yang tak bersalah, tidak perlu pula melawan rasa sakit karena perasaan yang pernah ada, dan sekarang; sesempatnya setelah hujan kali ini selesai, kubiasakan adanya keadaan yang sempat singgah lama dan memberatkan perasaan. Hujan menuntunku untuk tidak lagi mendesak rasa sakit dan sewajarnya saja, karena aku sudah belajar banyak.

   Sudah kali kesekian hujan datang, kuhitung semenjak perpisahan menjadi ruang temu terakhir, tepat lima belas kali ia berganti cuaca yang tak bisa kutebak satu kali dua puluh empat jam, aku menemukan diriku lebih handal dari biasanya. Memahami bahwa semakin rapuh akan semakin hancur, mengingat sama saja bohong, menuangkan kenyataan pada sebuah objek kosong yang kusebut masa lalu selalu menjadi hal yang tak akan pernah selesai. Aku melepaskan yang tak pernah aku inginkan, meluapkannya pada hujan kelima belas.

    Hujan kelima belas tidak pernah memaksa. Tidak tentang bagaimana aku perlu memaafkan kesalahan seseorang, menunggu ucapan belasungkawa atas kejadian yang selalu aku keluhkan, menjadi jaminan kekhawatiran manusia lain karena keadaan, menerima secara paksa tentang diriku yang sekarang.

Hujan kelima belas pada akhirnya meraup sisa-sisa beban yang aku samarkan setiap hari, yang kurangkai dalam satu cerita panjang dengan berat hati, dan kuukir diselembaran ingatan yang pada akhirnya tak bisa kubuang.

 Hujan kelima belas ini, kuberitahu pada diriku tetang tidak perlu larut mengembalikan pada keadaan sedia kala.

Pada hujan kelima belas, aku sudah sampai pada keadaan yang tidak pernah kutuntut banyak. Tidak karena keadaan yang kukeluhkan pura-pura bahagia--atau karena tidak mampu mengatakan baik-baik saja--atau sama dengan mengeruhkan keadaan agar bertahan lebih lama--dan karena menikmati banyak khawatir yang selalu aku cegah untuk segera sembuh dan selesai. 

Tapi karena aku mencintai hujan kelima belas.

Monday, September 7, 2020

Rumah Pelarian

Perempuan itu memutuskan mengayun kakinya untuk menepi pada sebuah ruang bebas sebagai rumah pelarian. Tempat ia kecewa dan menyimpan duka yang diam-diam ikut memperhatikan setiap langkah kaki yang ia tuju. Kemudian berhenti ketika sampai, menggapai setiap sendu yang meramu diwajah lesu yang tak lagi peduli sama kegelisahannya, berdiam menetap lama menenangkan perasaan yang berantakan, kemudian mengatakan pada dirinya, kuat bukan berarti harus sampai secepatnya.

Rumah pelarian itu memberi keleluasaan untuk membaur dengan pilu yang tak lagi sama. Dia menjadi sebuah cerita paling berharga, menjadi ruang sendu yang seluruhnya bertabur dan membawa ketenangan paling hangat. Tempat dimana bebas menyanyikan ribuan kegelisahan secara luas dibawah langit semesta yang selalu menjadi rahasia paling besar--serta jawaban yang mati-matian menjadi penunjuk kegelisahan selama ini. Putus asa tak lagi membuatnya menahan sakit; dan rindu pada nyaman merangkul erat-erat.

Perempuan itu tak lagi berpura-pura mahir sebagai bentuk menerimanya pada takdir. Rumah pelariannya membawa pada kesempatan menerima yang ia cemburui. Matanya yang meraut keheningan tak lagi mati pada yang terlihat. Tubuhnya tak lagi menyeka beban yang terangkul erat. Marahnya tak lagi menertawakan gelisah yang setiap hari betah bertahan. Rumah pelariannya menjadi ruang singgah yang tak pernah akan ia kasih ke siapapun yang tiba.

Maka, rumah pelariannya selalu mati-matian ia tutupi segelap mungkin. Disudut hatinya, disinggahsana setelah ia menemukan pulang, maka ia sampai pada tujuan yang akan dapat memberi jawabannya. Disana, ia menemukan arah kegelisahan yang mati-matian memburunya setiap saat. Dibeban perasaannya, tak lagi perlu sampai pada rapuh yang mengalahkan dirinya.

Rumah pelarian yang sudah lama ia sembunyikan diam-diam, menjadi ruang temu paling berharga untuk abadinya. Jika rupa adalah bentuk yang terkasat dan setia menjadi terbaik, tidak padanya. Rumah pelariannya selalu jauh lebih membuatnya bebas tanpa pernah belajar cara melupakan manusia pada masanya.

Tuesday, September 1, 2020

Resah

Sebenarnya, ada banyak kepingan tawa yang tersusun dari gelap canda yang disembunyikan di ujung keadaan. Berusaha mati-matian menuntunmu untuk mengatakan baik-baik saja; sudah lama setelah sekian waktu kamu beradu dengan sesak yang tak menemukan arah, pada pintu yang paling ujung, tak pernah ada yang tertembus dan berakhir rampung. 
Perasaanmu samar-samar menyamari nyata yang tak pernah memihak pada keinginan. Rupamu masih sama saja; siapa yang tahu bahwa sendu bermuka dua dan menyembunyikan kepingan bahagia yang sudah lama runtuh? Kehilangan yang kamu pikir akan segera sembuh menjadi kalah karena kebahagiaanmu selalu tak tenang, tak aman; dan jadi bagian yang tak pernah kamu tunggu-tunggu datangnya.

Perasaanmu kalah oleh perkataan orang-orang. Hidupmu menjalar pada cerita manis mereka yang memberi banyak dampak luar biasa untuk hidupnya. Sedangkan kamu masih saja mati-matian menenangkan perasaan, menyematkan kegelisahan, meluapkan segala yang tak pernah selesai; dan tak pernah benar-benar usai.

Kemudian baru kamu tersadar bahwa sebenarnya arah tujuan tak seharusnya menjadi beban paling luar biasa. Hidup tak harus menyeluruh, tak selamanya perlu mengejar untuk memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan bodoh yang hanya menyakiti. Ketika dunia tahu bahwa kehidupanmu tidak pernah berakhir menyenangkan, maka ada banyak kejadian yang harus lebih banyak kita ambil menangnya. Rela pada hal-hal yang merusak pikiran dan meredakan segala yang tak pernah wajar. Karena setiap yang terjadi maka benar-benar ada, manusia tidak bisa memilih yang mana sebab tercipta karena mahir berencana.

Karena tumbuh secara utuh dengan mengedepankan ketenangan; jauh lebih berbobot daripada memendam, kemudian menyisakan dendam. Melupakan yang tak pernah selesai tidak bisa merubah keadaan meski pada akhirnya segala cerita tetap sesuai keinginan.


Terlalu lama

Terlalu lama, terlalu rapuh, terlalu keruh untuk menerima hidup yang tak sepenuhnya utuh. Bagaimana kabarmu? Aku melihatnya lebur, mungkin t...