Saturday, November 3, 2018

Tentang hujan

     Tentang hujan yang jatuh ke bumi,
     Aku selalu suka hujan, tentang tempias yang mengaduk gaduh dengan angan, kadang juga terlibat kenangan. Tapi aku tidak pernah suka kenangan, ada yang terbesit luka dan berarak menjadi menyakitkan. Aku mengeluh karena tidak sanggup, sedang aku tetap mencintai hujan, apalagi tentang dingin dan tenang yang dibawanya, membersamai udara sejuk membuat memeluk dan mencintai diri sendiri dalam-dalam.
     Aku selalu suka hujan, juga sepeninggal hujan. Tentang bau tanah basah yang menelusup masuk, kemudian yang terhembus menjadi ketenangan. Bagaimana sebuah kumpulan percikan air yang menjadi jelaga kemudian mengaduk menciptakan keruh, tapi keruh itu luar biasa, aku menyukainya, artinya; semua masa lalu itu tidak terlihat paling utuh, karena yang tengah membersamai rinai adalah keruh, hilang ketika matahari menyengat.

     Aku selalu suka tentang aroma air yang menyetubuhi daun, menciptakan embun dan menetes pelan-pelan, membersamainya membuatku merasakan romansa, antara kepergian dan pertemuan, membuatku lebih luluh untuk melepas; segala rasa sakit atau melepas bahagianya. Tunggu, yang bahagia tak akan pernah usang, bukan? Iya. Aku cemburu pada embun, menetap pada tubuh dedaunan namun menetes, menyeka, dan jatuh ke tanah. Hilang, tanpa bekas.  
     Aku selalu suka bunyi dentum kecil tetesan air diatas atap. Suaranya ribut, tapi tidak sekeras bunyi hati.  Juga tidak seberisik ucapan orang-orang. Berfrekuensi tinggi, menciptakan nada dengan irama yang berantakan. Tapi bunyinya menyenangkan! Tandanya, sisa-sisa hujan masih membekas dan gemericik air masih menyahut. Sangkut paut? Ah, aku pikir aku sudah lupa tentang itu. Tidak ada lagi urusannya dengan yang kelabu, ada yang harus terlupa, dan selalu.

     Aku selalu suka beberapa rinai lembut sesudah bilik hujan menutup. Masih ada, sebenarnya. Tapi manusia menyebutnya gerimis, bukan lagi tentang hujan. Ah, ia diganti tanpa perlu merasa sepi. Toh, masih sama-sama air yang jatuh ke bumi, ya?

     Tentang hujan yang jatuh ke bumi,
     Tanpa perlu bertanya panjang lebar, aku menyukainya, selalu menyukai rinai yang berdentum ria diatas atap. Menyukai tiap aroma tanah basah sepeninggal hujan, menyukai keributan orang-orang yang saling memadu padu suara klakson kendaraan, menyukai segarnya ilalang yang tengah mendapatkan air, menyukai bau kesejukan, tiap menarik nafas, ada yang selalu terngiang tanpa pernah aku inginkan. Tunggu dulu, aku tidak sedang mengingat yang sudah-sudah.
Ada sesuatu hal yang menyenangkan, yang tidak bisa dikemukakan.

     Kata orang, kalau hujan, kamu mengingat seseorang?
     
     Aku tertawa. Benar juga. Hujan membawa memori. Entah yang telah dilupa, atau memang tentang apa yang tengah dicemaskan. Entah tentang yang tak pernah ingin diingat, atau tentang apa yang tengah diharapkan. Tidak pernah ingin mengusik keperihan dengan hujan; tapi ingatan itu muncul saat hujan membawa tetesannya. Apa yang paling sulit kamu lakukan setelah kamu menyukai suatu hal, namun membuatmu tidak lebih baik setelahnya?
Memalukan rasanya ketika harus mengenang rasa sakit, juga putus asa yang pernah singgah. Lebih daripada itu, bersama hujan; aku menemui persahabatan. Bersama hujan; aku mengingatnya, segala keinginan yang selalu aku semogakan. Bersama hujan; aku banyak belajar tentang kedamaian, keikhlasan, juga kerelaan dan melupakan.
    
     Bersama hujan, aku percaya; akan datang seseorang yang baik dan benar-benar baik, tidak untuk membuatku membenci rinai, menikmatinya berdua. 
Meski memori itu juga tiba tanpa bersahabat dan mengerti, membuatku terluka.
Tidak. Aku akan tetap jatuh cinta padanya, pada hujan dan lingkupannya.

     Aku tersenyum dari balik tirai, ditemani ketikan-ketikan ini. Salam cinta untuk rinai diluar sana.
    Tidak untuk merasa mengingat masa lalu dan membersamai rasa sakit, aku telah melupakannya, rinai  itu membawanya menuju jalan lain, yang terlintas tidak akan selamanya terlintas bukan?

Meski pada akhirnya, ketika aku menyukainya, ia rela mengingatkanku pada hal-hal yang membuatku membenci.
Meski pada akhirnya, ketika aku menunggunya, ia rela mengembalikan memori yang membuatku tidak sebaik hari-hari yang telah kulalui.

Meski pada akhirnya hujan menyulitkanku untuk berbaur pada keadaan, entahlah, aku tetap jatuh hati padanya, Pada caranya membawa harapan, pada caranya mengingat kedamaian.  
pada caranya membawa keajaiban.

No comments:

Post a Comment

Terlalu lama

Terlalu lama, terlalu rapuh, terlalu keruh untuk menerima hidup yang tak sepenuhnya utuh. Bagaimana kabarmu? Aku melihatnya lebur, mungkin t...