Friday, September 28, 2018

Kepadamu, dari filosofi angin.

     Hembusan angin mencuri celah untuk membuatmu memperhatikannya. Kemudian kamu menoreh senyum, dihujani rasa kegembiraan karena ia berhasil merajut kesedihan. Kamu terlihat lebih segar diantaranya, hingga alam bebas yang selalu membuatmu candu untuk bersimpati terus-terusan menjadi tempat pelarian ternyaman pertama yang kamu dapatkan. Kamu memojok diantara barisan manusia, memanggilku; bersenandung dan menikmati udara yang juga menemanimu.

Ada yang spesial; aku tersenyum dan ikut senang. Jangan lengah karena kelelahan, aku ingin membisikkan itu.

Aku menikmati rona berpijar tentang kelegaan. Kamu beruntung menemukan angin, pikirmu. Akupun demikian, betapa indahnya menemani seseorang yang tengah mencariku.

     Kamu tahu tentang sebilah patah yang pada akhirnya bermuara pada kesedihan? Membuat kamu mengutuk-ngutuk kisah yang pantasnya tak terjadi, tak bisa dielak;semua tetap sesuai takdir. Kamu butuh tempat untuk mendongengkan hati yang selama ini kamu rasa, kamu juga butuh tempat bersandar untuk menenangkan. Silahkan, panggil aku disela-sela kosongmu, aku menjadi hembusan yang membuatmu lebih merasa hidup.

Oh ya, perihal takdir; mengapa ia tidak pernah memihak kita?

     Kepada seseorang yang tengah dirajut Tuhan untuk menjalani kehidupan. Kamu, disebuah tempat nyaman yang sedang menikmati musim-musim tertentu sambil menjalani takdir. Tatapan itu tak akan berujung pada sendu, atau dinikmati ribuan binar mata teman-temanmu bukan? Bahagiamu juga bukan tentang orang yang menemani pada musim dingin dan sama-sama menikmati satu waktu tepat ketika saling bersenda gurau bukan? Senyummu tidak karena hati lebih memprioritaskan orang terdekat dengan memberi simpul spesial dan kamu merasa nyaman sudah menaruh hati padanya bukan?
Tunggu dulu,
jangan bersedih, aku siap menampung kesedihan ditengah gelisah. Asal angin lain tak akan mengacau balau suasana bukan?

Pada seseorang yang sedang kulihat dari sela dedaunan.
Akankah aku mampu menjadi angin yang juga selalu menyusuri jengkal perjalan itu?
Aku pemikir, aku penakut. Bagaimana bila ternyata hujan yang kemudian membuatmu lebih baik?

Jangan; jangan butuh hujan,
Aku hanya angin. Akan tiba pada kesejukan, aku tak ingin menjadi badai, aku disela-selamu, hembusan nafas itu.

Sungguh, sebenarnya
Aku tak ingin mencintai terlalu dalam dan menyebabkanmu berantakan.
Bisakah aku menjadi bagian dalam tiap apa yang kamu semai? Persis ketika alam membawamu mencariku, dan aku jatuh pada ronamu.

Jangan,
Jangan buang aku ketika dunia membuatmu menemukan jalan lain untuk menikmati hidup, ketika rinai turun dan kamu terbius dengan kesenangan.
Jangan, aku benar-benar bilang jangan. Meskipun mengikuti arus langkahmu sama seperti berkelahi dengan hujan dan aku akan kalah, aku akan kalah.
Karena hujan, pada akhirnya lebih sering membuat imajinasi dan perasaan lebih baik.
Dan aku; aku selalu mengharapkan kemustahilan yang tak akan nyata dan memihak waktu.


Kamu tetap menjadi kemungkinan yang mencariku; meskipun banyak ketidakmungkinan yang ada.

Wednesday, September 19, 2018

Aksara


Aku hanya memahami mengapa aksara jauh lebih menyenangkan, mampu membuat pribadiku lebih hidup, tak terasa terkurung dalam lingkup yang membosankan—atau mungkin, beberapa ceritaku lebih nyata pada tulisan, naluriku lebih mampu mengoptimal, dan aku jenuh pada nyata.

Aku memahami bahwa garis waktu adalah tentang sebuah tulisan, yang menjadi wujud sebuah kenangan. Bagaimana aku mampu meruntutkan hal-hal yang menyakitkan--padahal mampu aku lupakan. Entah, apa yang harus kusukai dari sebuah kenyataan pahit bahwa menulis adalah untuk mengingat? Sedangkan ingatan buruk tak selamanya harus terekam.

Aku memahami bahwa mencintai aksara adalah cara menyulap jenuh menjadi sebuah kesenangan—memahami kembali bahwa dunia ternyaman adalah kepribadian—seorang diri yang bukan siapa-siapa dan berusaha memahami keadaan.

Aku memahami bahwa dukacita lebih tentram dimelodikan dalam sebuah ketikan—kemudian dimemorikan—pada sebuah kenangan yang berbentuk tulisan. Rasanya lebih hidup, membuat keadaan lebih baik dan terjaga, mampu menghilangkan prasangka buruk yang dikemas dalam pikiran.

Aku memahami bahwa lelah dapat kuceritakan pada prosa-prosa yang tak melulu indah—sajak yang 
sekedar ditulis sebagai gundah—juga untuk menghibur hati yang tak baik-baik saja. Menenangkan, mengamankan, atau—memberi keajaiban.

Aku memahami bahwa duniaku tumbuh tentang kesenangan aksara—aksara itu bermajas—membuatku menikmati diksi-diksi yang dikeluarkan—membuatku lebih nyaman dan mampu melepas beban—membuatku hidup dalam dunia yang tak banyak orang tahu.

Aku memahami, bahwa aksaraku bernilai dan meraih pencapaian terbesar adalah mungkin; karenamu—ketika mata itu membaca tiap diksi, tiap rima, tiap kosa kata yang aku keluarkan dan kurangkai—ketika kau memuji segala apa yang menurut orang lain aneh—ketika hiruk pikuk penghinaan luntur karena ada semangat yang membius dan mendorongnya.

Maka, untukmu, semoga kita tetap (dan akan) sama-sama (dan selalu) mencintai aksara.

Ada satu waktu yang aku harap untuk kita sama-sama menikmatinya--ia aksara kita.

Sunday, September 9, 2018

Mencintai sendirian.

     Beberapa perasaan menjadi beban, bahkan setiap pertemuan menjadi klise dan menciptakan kesedihan. Ah, cinta sendirian kadang semakin memperkeruh suasana.--
     Aku menyebut beberapa orang yang datang itu sebagai sebuah pertemuan yang harusnya biasa, beberapa kali aku sadar, ternyata tidak semua harus menjadi biasa--atau, kupikir sudah saatnya untuk bersimpatik pada seseorang; yang bahkan kutahu, menoleh saja tidak akan pernah.
     Aku juga tak penah ingin bernego-nego tentang cinta, yang kutahu, ketika bersamanya pun; aku jatuh, jatuh hati pada sikap yang langka, jatuh hati pada beberapa cerita yang kuinginkan menjadi sebuah kisah yang bermatang bahagia, aku juga jatuh hati pada seseorang yang menurut sebagian orang luarannya saja yang menarik.
     Aku jatuh pada seorang lelaki dengan wajah kusut dan sifat yang pemalu. Pada seorang lelaki yang berpikir dan mendukung tiap apa yang aku semai, manakala kami saling menyaut tentang sebuah skenario dibalik seorang penulis, atau tentang dukungannya tentang hasil buah pikirku dalam bentuk fiksi yang terangkai yang selalu dipujinya; tak henti-henti.
     Ah, sudah lama rasanya, terakhir ketika aku sedang keruh-keruhnya, ia mendekap mataku dan memberi keyakinan kuat, serupa merubah pikiran kosong, ia juga menabur kesedihanku disenda gurauan.
     Aku sadar sekarang, bahwa ternyata; aku mulai tertarik padanya. Persis ketika ia tertarik pada cerita-cerita konyolku, segala bentuk tertulis yang aku suguhkan tentang ketikan jemariku, ataupun ketika pujian datang manakala aku mengarang rangkaian kata. Ia seakan menyebutnya--menarik? Ah, atau hanya imajinasiku saja yang berharap ia mengatakannya.
     Persis ketika bibirnya menguntai kata-kata pujian terhadap karyaku, membuatku selalu ingin menulis; tapi yang pasti, beberapa cerita ini ternyata terlalu bertumpu padanya. Sampai aku lupa tentang sebuah inginku untuk menjelma menjadi seseorang yang lebih baik karena diriku--sampai aku selalu menjadikanmu tokoh yang paling aku favoritkan, dalam skenarioku--ataupun hidup nyataku.
     Kepadamu,
Aku takut, ketika pada akhirnya yang muncul dari sisiku adalah ketidaknyamanan yang terekam dipikiranmu. Sesekali aku ubah posisi itu, membiarkannya bertumpu pada perasaanku--sendirian, supaya kamu tak perlu berlari dan mulai mundur, aku takut ketika ternyata bayangan dari belakang fiksiku akan kabur; itu membuat jemariku semakin sulit untuk bersahabat dengan pikiran, juga hatiku--yang mana kau tau bahwa sebagiannya sedang tidak baik-baik saja, sebab ada padamu.
Aku juga takut, manakala sebagian cerita hidupku adalah bayang-bayang yang tak jelas, entah ada kamu atau tidak; bagaimana aku? Akankah aku bertahan untuk tetap menguatkan kenyataan atas sebuah pilihan? Jika ternyata, suatu saat, seseorang yang tengah aku harap sedang tak nyaman, karena aku mencintainya?
     Kepadamu,
Aku pernah berlari sekencang mungkin, menyatu pada aktivitasku untuk melupakanmu; namun ternyata kekalahan yang menang, tiap-tiap kebaikanmu selalu dapat muncul dalam memoriku, hingga aku kehabisan cara untuk menghapus dirimu.
Aku juga pernah ingin kabur, satu hari saja tidak berjumpa padamu; tak akan bisa. Kita begitu dekat, hingga ternyata kamu tak akan pernah sadar tentang setengah hatiku yang sedang disampingmu; pun ketika jauh. Aku selalu berusaha untuk menghindari rasa sakit; ketika penolakan atas perasaanku ini akan terjadi nanti.
Aku seringkali mundur; sebab terlalu banyak orang yang menaruh hati padamu; pada kebaikan-kebaikanmu, juga pada segala pola pikirmu. Aku juga seringkali tak menggubris, supaya kita sama-sama baik saja; kamu tetap jalan pada duniamu, sedangkan aku tak terlalu jatuh pada perangkap yang aku buat sendiri.
Aku ingin menyerah; untuk berhenti mendekapmu dalam pikirku. Banyak cerita yang aku khawatirkan ketika kita bercengkrama, jangan terlalu memberi simpul kedekatan; aku takut semakin perasa.
Aku juga tahu, kita diciptakan tidak untuk saling mengerti dan memahami, kau hanya baik; aku saja yang terlalu menganggapnya berlebihan.

Aku kelelahan. Padahal,
Bukankah, mencintai seseorang tidak perlu tenaga?

-Dikutipuntuksebagianorangyangsedangjatuhsendirian-

Friday, September 7, 2018

Aku ini apa?


Bagi sebagian orang; aku ini apa?
     Sebagian mulut-mulut orang lain bilang aku ini pendiam, memang, betul sekali, aku kaku dan sulit mencerna keadaan. Aku sulit memahami orang lain. Bahkan, aku hanya berani mengangguk dan mengiyakan diri padahal tak nyaman pun dilingkupku, sungguh.
     Sebagian orang mengatakan aku ini seru. Padahal, beberapa cerita terbentuk karena aku merasa lega membersamai orang-orang itu, mereka yang selalu menang dalam melelehkan hatiku untuk berada dilingkupnya, orang-orang baik yang membuat aku terkesima; sehingga aku lupa tentang aku ini apa? Dan akhirnya aku tak peduli aku ini apa.
     Sebagian orang mengatakan aku ini asyik, entahlah. Beberapa orang menyebut itu; ketika aku sedang benar-benar tak peduli. Ada yang mengatakan bahwa menjadi teman mainku adalah keuntungan, sehingga ketika aku sadar aku sedang tak berguna, mereka yang membuatku sadar bahwa aku benar-benar memiliki hak dan sebuah kenyamanan.
     Sebagian orang mengatakan aku ini cuek. Tak mau bercengkrama pun menyapa, membuang muka dan tak peduli sekitar. Ah, aku pikir dengan cara ini aku senang dengan diriku, melibatkan orang yang tak kukenal dalam hidup hanya akan membuatku lelah, serupa ketika mulut-mulut mereka pada akhirnya mengatakan aku ini “cuek”. Mereka lagi-lagi membuatku sadar, aku terlalu mencintai dunia sekitar, hingga lupa dunia nyata dan sisi manusia lain yang juga menjalani kehidupan.

Terlalu lama

Terlalu lama, terlalu rapuh, terlalu keruh untuk menerima hidup yang tak sepenuhnya utuh. Bagaimana kabarmu? Aku melihatnya lebur, mungkin t...