Entahlah. Aku tak mengerti tentang hubungan yang pernah terdekap erat yang kini dengan ego menumbuhkan ilalang-ilalang disela jerami tajam yang menusuk-nusuk hingga membuat aku terlalu terluka. Memang. Kuncup bunga mawar merah yang menyelipkan cinta itu kini memaparkan duri-duri tajam yang mengiris dengan lincah tiap perasaan yang sudah beribu lamanya coba ditanam. Gundah, perih, rasa terapuh yang kukiaskan dengan senyuman manis memang cukup mengibaratkan kata topeng yang kini bermukim untuk waktu yang cukup lama dalam diriku. Aku tak tau kemana lagi menapak, sebab jejak-jejak kakiku telah tersapu arus kuatmu yang menggulung masalalu. Aku juga tak mengerti mengapa sayap-sayap imajinasiku kini terbang. Sedang selama ini ia tak nyata, bahkan untuk mengepak aku jatuh kembali pada dirimu. Dan kau menuntunku untuk bisa bercengkrama. Merasa awan nyata, menyapa merpati putih dengan geming matanya yang menunjukkan ketulusan, seperti kau, dan kau adalah tempatku pulang.
Entahlah. Aku tak punya nyali lagi untuk melawan musuhku. Masa lalu tentang setiap rasa. Panoramamu eksotis; ada perjuangan yang melebihi batas kriteriaku. Yang pada akhirnya kutau, itu hanya sebatas sengketa. Hanya syarat pilu yang seakan menggemuruhkanku. Memberi tanda bahwa itu hanya gurauan. Yang menipu pikirku, sedang kamu asyik melepehku dari dalam. Ada dusta yang kau selip diam-diam. Dan aku tak menyibaknya seinci pun. Sebab bunga-bunga sedang kuncup digemuruh hatiku. Dan pada akhirnya, ia terbuka perlahan-lahan. Menanam lebam pada benih cintaku.
Lalu bagaimana bersahabat dengan hari-hari manis yang merusak keharmonisan kenangan?
Muasalnya. Aku terjerumus dalam sekali pada fase bertahan. Bahkan 1001 duri-duri tajam tega menggilas hati yang bertahan pada keadaan dipatahkan. Ada kuncup yang menelusuk, menyembunyikan duri bengis yang kini merombakku habis-habisan. Bahkan, ada benci yang timbul dari cinta yang merekah. Ada sakit yang tertancap dari perasaan palsu. Dan yang nyata sekarang, justru hanya aku yang tertanam cabik. Bengis. Dan aku masih lumpuh untuk mengatakan baik-baik saja.
Aku tak mampu menyeka pilu. Meski rasa gusar yang tak terkendali itu selalu muncul saat hembusan angin tak menyapaku, atau lamunan datang menerjang. Ada hal abstrak yang susah kurautkan bentuknya. Rasa emosiku berakhir jenuh, atau sayatan patahku berakhir merelakan. Menyakitkan? Tentu saja. Ada banyak hal yang ingin kugapai agar sisa-sisa amarah itu segera redam. Tapi awan menggetir. Hujan selalu datang bergantian menyeka air mata yang tak tumpah dari sudut mata. Hingga pada akhirnya bekasan kenang itu masih belum menghilang dengan hujan yang perlahan tak lagi deras.
Maaf. Ucapan itu selalu bersemedi di mulut manisku yang tentu selalu kuakting kan. Aku tak sedang menertawakan hal apapun. Jika pada akhirnya sayap-sayap kokoh yang selalu kuperjuangkan kini patah, aku hanya bisa terisak menonton ia perlahan pergi. Tapi benar. Dan aku tak mempercayai malaikat bersayap itu sekarang. Karena kau benar-benar mengantarnya pada wanita yang selalu kau sanjung dengan segalanya kini. Maaf. Jika pada akhirnya wanita yang kau agungkan lebih dariku kini bisa menjadi bidadari semestamu yang sempurna, maka biarkan aku menjadi manusia biasa tanpa kehebatan apa-apa. Aku tak berani menjadi lebih tinggi dari wanitamu ini. Aku takut; jika akhirnya akan bertemu dengan orang yang sama-sama tak berperasaan.
Pada akhirnya, aku tak memainkan karma yang selalu ditatap jahat oleh para pencari cinta. Ya, sepertimu. Lelaki hebat yang selalu fatal dengan pilihannya. Meninggalkan orang lain dengan kenangan miris. Orang sepertimu, bahkan apa-apa saja yang diperjuangkan akan hilang tanpa jejak. Hadirmu menyusup, dan kini kenangan itu terbengkalai bersama riakkan rintih dari pecandu masa lalu ini. Salah besar. Jangan jatuh cinta pada puitis sepertiku ini. Sebab, selalu ada perasaan memilukan yang dijahit bersamaan dengan ketikan jemari-jemari malam. Otaknya masih memutar. Mengingat masa lalu yang belum sepenuhnya utuh sembuh. Hatinya masih robek, ia masih menanam bekasnya pada tulisan-tulisan yang menyedihkan.
Mengenang guntur perasaan atau kilatan yang mengelilingi sebuah perasaan justru menyakitkan. Karena itulah, aku memutuskan mundur sambil menyeka bagian hati yang membiru. Kau, adalah tega. Meraup omongan besar yang akhirnya kukucilkan. Bijaksana untuk bermain kata-kata saja, tapi hatinya terombang ambing dalam keganjalan. Terimakasih. Laki-laki palsu yang mudah memainkan perasaan. Bermuka dua, menyeleneng dari tampilan depan. Jangan lakukan itu. Sebab mungkin pada akhirnya bukan seperti yang kau harap.
Jika pada akhirnya kau usik hidupku lagi, izinkan aku memberi simpul senyum yang tak menunjukkan ketulusan. Biarkan bibirku menggetir, bergetar menahan sesak yang selama ini kukendalikan. Beri aku kesempatan hebat untuk mendiamkan diri, biarkan otakku mengulang-ngulang pada setiap bagian paling menyakitkan. Izinkan aku sebentar saja memaki hati, mengoyak-ngoyak rasa patah yang sudah cukup lama tertanam didasarnya. Lalu sapalah. Jangan lancang. Aku mencoba menampilkan perasaan yang justru kuduakan. Hati yang kau retak itu masih berbuih letupan. Semuanya palsu. Sama dengan bidadari-bidadarimu yang tak menerima kurangmu. Itulah yang realita. Sebab lukaku adalah lukamu yang kau dapat dari wanita eksotismu. Menyakitkan. Namun bagi orang yang terlebih dulu merasakannya, adalah hal yang sangat rapuh. Dan mustahil, serela itu untuk mendatanginya kembali.
Terakhir. Aku ingin memaki dengan halus agar kau tak canggung. Pada sederet perempuan yang kau tetapkan tujuan, berhati-hatilah pada hatinya. Dan, cukup aku yang kau tanam dengan rapi rentetan luka yang masih melepuh. Karena aksaraku yang selalu menyeka tangis bisuku saat mulutku tak lagi bersahabat. Masih ada kekuatan tipis yang menyadarkanku. Kau, adalah apa-apa yang paling ingin kujauhkan. Dan kau, adalah jawaban dari luka-luka lama yang masih belum bisa hilang hingga aku berani merangkai kata pada hening aksara.
Friday, September 16, 2016
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Terlalu lama
Terlalu lama, terlalu rapuh, terlalu keruh untuk menerima hidup yang tak sepenuhnya utuh. Bagaimana kabarmu? Aku melihatnya lebur, mungkin t...
-
Hai, kali ini berhenti buat prosa-prosa dulu ya. Aku mau berbagi ke kalian kalau sekarang aku juga nulis diwattpad:) Emang baru sih, aku la...
-
Halo teman-teman! Mungkin banyak dari kalian yang bertanya-tanya tentang jurusan dari universitas ini nih. Berhubung aku mahasiswa angk...
-
Kali ini emang out of topic banget sama yang biasanya aku bikin. Bukan tentang rangkaian kata, kali ini rangkaian cerita perjalanan ya...
No comments:
Post a Comment