Saturday, August 6, 2016

Aku menyimpan dalam doa.

Selamat malam, kepada kamu, yang menjadi sayap dalam patahanku.

Jari-jari tanganku saling beradu. Membentuk gumpalan harap yang terngiang dalam rasa. Dariku, yang menjadi hitam karena kelu. Sebab perasa yang kurasa ini semakin memuncak. Aku cukup jera memupuk dalam-dalam setiap cinta yang mulai merekah untuk seseorang yang kurahasiakan. Sudah kubagi berdua namanya pada Tuhan. Kuceritakan dengan elok setiap gerak-geriknya. Dan yang selalu kuikat dengan Do'a, itu bagaimana caranya aku berharap.

Ada senyum tipis diraut wajahmu. Yang tentunya adalah pesona terbaik yang selalu kucanggungkan. Aku tak ingin kau mengusirku, saat aku mencoba mengendalikan topeng perasaanku disaat kita sekedar berhadapan. Sejauh apapun aku memalsukan hati, ia malah berdegup kencang. Aku selalu berbohong tentang itu. Tersenyum dan mengatakan biasa-biasa saja. Tapi ada senyum yang menyiksaku untuk tetap mengatakan tak apa. Hatiku keram, dan senyumku itu menggetir saat kita sudah berjalan pisah.


Untukmu. Dariku. Yang selalu menyembunyikan 1000 cerita dari setiap hal yang kulampaui dengan bimbang. Tentangmu, dan lagi-lagi aku merasa kacau, tak bisa sama sekali membakar gelora rasa yang semakin menyeruak. Kamu. Adalah terindah dari apa-apa saja yang sudah kutemui. Yang terbaik dari apa-apa saja yang kuharapi. Dan kamu. Aku hanya berani menitipkannya pada Tuhan. Ia menyayangimu lebih pantas. Tak seperti perempuan sederhana sepertiku. Perempuan yang hanya bisa mendoakan, tanpa ingin kamu mengertinya.

Dalam malam, ada cerita tentang rinduku yang selalu menyepoi angin. Rinduku yang dihanyutkan oleh rintikan buih hujan tengah malam. Juga didalam bintang yang paling berkilau saat aku telah tertidur. Setiap saat. Aku selalu mengenangmu, menyimpan dengan erat setiap tawamu, atau bahkan menemani bayang hitammu dalam kegiatanku. Aku tak berani menyapamu. Menatapmu. Atau bahkan akan memergokimu dengan yang lain. Aku takberani mencari tau, karena aku takut untuk sakit.

Menikmati keheningan. Menutup mata dengan tenang. Menggetirkan mulut. Perempuan ini hanya sedang menghentikan degup hatinya. Menyembunyikan sedalam-dalamnya kegetiran yang ia simpan rapat-rapat. Semoga cintaku tidak menyakitimu. Tidak membuatmu melangkah mundur dariku. Tidak mengkhawatirkanmu jika gerak-gerik tubuhku mengiaskan perasaan padamu. Tenang saja. Aku akan lihai mengendalikannya. Aku akan lebih cermat untuk mencoba menghapusnya. Jangan khawatir. Aku sanggup mengentikannya. Aku sanggup. Ya, aku akan sanggup..

Semoga sikapmu tidak oleng dariku. Kita masih bisa bersama dengan biasa tanpa perlu kekhawatiran. Tak perlu menjauh untuk mencoba pergi. Tenang saja. Sudah kutitipkan pada Tuhan. Dan kusisihkan rasa itu kepada-Nya. Semoga kita terbiasa. Dan aku terbiasa berada disekelilingmu. Tak ada degup yang memberontak lagi.

Tenang saja. Tuhan sudah tau kamu. Dan mungkin ia terlanjur bosan mendengar namamu. Sekali lagi. Jangan cemas. Aku tak melarangmu jatuh cinta. Aku akan siap melepasmu perlahan-lahan. Dan ceritaku pada Tuhan mungkin takkan luntur. Masih tentangmu. Sayap putihku, yang akan mengepak. Tentangmu. Yang akan pergi, entah kembali atau tidak.

Terimakasih. Untuk setiap pertemuan yang terlanjur kupajang dihatiku. Untuk setiap percakapan terbatas yang kusisihkan disampingku.

Tuhan. Bantu aku berdiri kokoh untuk menjadi sayap dalam diriku sendiri. Bantu aku mengoyak satu-satu tentang rasa-rasaku yang sudah bertebaran. Dan semoga cintaku akan segera goyah. Dan kita akan sama-sama menjadi lebih baik. Mengurungkan pikiran untuk berharap lebih banyak.

6 August 16.
Perempuan berkerudung yang merahasiakannya pada pencipta.
Yang jatuh cinta. Tapi tidak berani berharap.

No comments:

Post a Comment

Terlalu lama

Terlalu lama, terlalu rapuh, terlalu keruh untuk menerima hidup yang tak sepenuhnya utuh. Bagaimana kabarmu? Aku melihatnya lebur, mungkin t...