Aku tidak anggun, Tuan.
Tak mengapa jika semu diujung mulut seorang pecandu wanita yang luar biasa itu terus berkutik dibagian itu saja. Aku tau, bahwa engkau mendekap seseorang yang dapat mengertimu tanpa setitikpun belenggu tak suka. Aku tau, jika kepingan hatimu mulai membaik karena wanita terindah yang Tuhan hadirkan dengan senyum yang mempesona dan juga hati yang mulia. Aku tau, Tuan. Jika yang engkau idam-idamkan adalah bidadari surga yang membius dunia fana ini tanpa ada jengkalnya. Aku tau, Tuan. Jika apa-apa saja yang aku lakukan bukan hal yang dapat menggugah hatimu untuk merengkuh padaku sedikit saja. Aku tau, Tuan. Karena aku tidak seberkelas para wanita mulia yang engkau idam-idamkan.
Padamu. Aku tau, tak senonoh jika aku mengistimewakan hati pada seseorang yang menyeret ragaku untuk pergi dari sudut sana. Bahkan, dalam tatapan semu-ku pun diujung lingkup dunia, ia tau bahkan mengusirku untuk tak perlu menunggunya. Yha, Tuan. Seharusnya aku mendekap raga dan rasa yang kuutarakan padamu itu, sebab aku tidak semenarik perempuan baik yang lain, Tuan.
Aku memang tidak memiliki keunggulan apa-apa, Tuan. Bahkan hati yang kupunyai ini sering gelisah, ia tak pandai ku bimbing dengan rasa yang lebih aman. Ia mengarah pada seseorang yang tak mungkin memimpikannya. Pada seseorang yang mencari seorang wanita yang bijaksana lagi mulia. Wanita yang jelas; bidadari surga. Dia engkau, Tuan.
Aku tidak bidadari dunia, Tuan.
Aku tumbuh dengan apa yang aku suka. Aku menyelami kehidupan dengan apa yang aku mau. Di ujung, aku cemburu padamu. Tapi, apa guna aku mengaismu dalam kelam? Aku tidak rupawan, Tuan. Aku tidak bidadari yang engkau mimpikan. Tapi, tak berhak kah ku jatuh hati pada engkau yang menginginkan perempuan sempurna?
Aku tidak semesta, Tuan.
Bahkan langit menyaksikan keluh kesah rentannya hatiku. Hati seseorang yang teramat miris. Ia yang tak sempurna dan tak teramat penting untuk dibicarakan. Dan aku, sudah lama tau jika ragaku terpeleset dalam dunia yang engkau keruhkan. Aku tidak semesta, Tuan. Tidak apa yang selamanya akan engkau harapkan tentang sosok seorang perempuan. Jauh, bahkan ia, wanita yang mungkin lebih baik dan engkau mau untuk menemani keluh kesahmu telah datang menemui waktu yang pas. Dan aku. Bahkan teramat sulit untuk dirincikan tentang apa dan mengapa aku menyaksikan satu-satu hal yang kuinginkan sedari dulu. Tentang apa yang engkau yakin ia yang terbaik. Dan aku tau, dia adalah nyonya yang sepantasnya kau agungkan, Tuan.
Aku adalah tentang apa-apa yang tak engkau harapkan, Tuan.
Dan aku tau. Aku memposisikan diriku pada ia yang selama ini engkau agung-agungkan. Celaka. Bahwa apa-apa yang tak ingin kau hadirkan adalah prioritas yang selama ini inginku kejar. Aku mengejarmu dalam doa dan pinta, Tuan. Tapi aku sadar, segala yang engkau tuju bukan aku yang ada disana. Dan segala doa-doa rindu itu menyapu suram, Tuan. Aku tau. Aku memang tak sebaik apa yang harusnya dibandingkan dengan dia. Segala untaian dalam pintaku kini sudah berhembus syahdu, Tuan. Aku memang bukan yang seharusnya engkau semayamkan dalam sisa-sisa waktu sepertiga malam. Sebab, aku bukan bidadari dimatamu, Tuan.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Terlalu lama
Terlalu lama, terlalu rapuh, terlalu keruh untuk menerima hidup yang tak sepenuhnya utuh. Bagaimana kabarmu? Aku melihatnya lebur, mungkin t...
-
Hai, kali ini berhenti buat prosa-prosa dulu ya. Aku mau berbagi ke kalian kalau sekarang aku juga nulis diwattpad:) Emang baru sih, aku la...
-
Halo teman-teman! Mungkin banyak dari kalian yang bertanya-tanya tentang jurusan dari universitas ini nih. Berhubung aku mahasiswa angk...
-
Kali ini emang out of topic banget sama yang biasanya aku bikin. Bukan tentang rangkaian kata, kali ini rangkaian cerita perjalanan ya...
No comments:
Post a Comment