Sunday, October 25, 2015

Teruntuk Tuan..



Hi Tuan.
Malam semakin larut ya. Kicauan suara katak dan sejenisnya semakin mengalirkan perasaan dihati ini. Rasa rindu, segenap rindu yang menghiasi gelapnya langit hitam ini. Aku lupa memberitahumu, lepas hujan tadi, aku tak kunjung berhenti mengingatmu. Deru angin bahkan tak begitu berpengaruh pada sejuk hati. Air itu menetes deras, tuan. Seperti rasa rinduku padamu yang terus mengalir. Aku mengingatmu disela kesibukan duniaku. Aku memperhatikan bayangmu yang seakan ada di seberangku. Ternyata jauh, kita sedang melamunkan diri masing-masing. Berusaha tak peduli, dan melepaskan bayangan itu. Kembali mengukir tawa dan canda baru, ya benar, tentu saja tanpa ada senyum istimewa yang terukir.
 
Tadi, saat hujan, aku tak melihat sedikitpun tentang kehadiranmu. Seperti dongeng, orang bilang ia akan menemukan sosok setelah hujan. Hujan itu istimewa. Seperti kita yang sedang berpura-pura mengistimewakan hati masing-masing. Lantaran, ada yang harus kita perbaiki masing-masing. Tanpa harus bertemu, atau bahkan bersapa sekalipun. Rindu ini terus bercerita, tuan. Aku belum bisa lupa tentang arti pertemuan. Aku harap, kita baik-baik saja. Dengan hati yang baik. Dan masih sama dengan perasaan yang lama. Tak berubah. Meski keadaannya sudah tak tersusun indah.
 
Hujan tadi, melamunkanku. Aku melamun. Aku lupa bahwa ada tugas yang harus kuselesaikan. Entahlah, entah 5 atau 10 menit aku berhenti pada keadaan nyata. Mengingatmu dikeseharianku tak pernah hilang. Bahkan, tanya saja sama tuhan, sudah berapa banyak namamu yang kusebut. Tuan, aku linglung. Aku bimbang akan keadaan. Aku tertipu. Aku justru masih menunggu. Berdiam diri agar kamu datang menghampiri. Bercanda ria tanpa ada batasan. Entah, entah sampai kapan aku memikirkan itu. Yang kutau, semuanya hanya ambisi dan imajinasi. Atau bahkan, fantasi. Seperti dongeng.

Hujan ini baru saja berhenti. Bau tanah basah itu masih utuh. Saat kutarik nafas, seperti ada kamu disana. Tuan, ada tempatku bersandar disitu. Ada tempat curahan hati yang bisa langsung kuutarakan. Cemasku, marahku, bahagiaku, sedihku, ada saja yang menghiburku. Tapi sepertinya, lagi-lagi aku tak bisa menggerutu. Lagi-lagi aku bermimpi lagi. Tuan, aku mengerti. Kita berusaha bertahan dalam kebisingan hidup dan cobaan masing-masing. Kita sedang berusaha mengertikan diri sendiri, tanpa ada yang siap menghibur hati, setiap hari.
Aku terbelenggu dalam keadaan ini. Aku tak bisa menyalahkan siapapun. Tuan, yang kuharap hanya satu. Ada hati yang selalu kamu lindungi, dalam kesibukanmu yang tak kenal waktu.  Keseharianmu, yang tak kunjung melirikku. Kita terbatas, dan tak akan pernah berhenti untuk itu. Kita tak bisa berhenti untuk menyudahi kesibukan masing-masing. Kita tak bisa menyalahi siapapun.
Hujan itu kini usai. Aku kembali tersadar. Tuan, kita memang terpisahkan ruang dan waktu. Kita harus merelakan hari demi hari dengan senyum miris. Kita harus terlihat kuat. Dalam keseharianku, aku tak jenuh mengingatmu. Meski terkadang, mengingat tanpa bisa bertemu adalah hal yang menyakitkan. Berusaha menyibukkan diri masing-masing untuk melupakan sebentar bahwa kita memang terpisah adalah hal yang tak bisa kulalui. 

Tuan. Aku masih disini. Masih bersamamu. Dalam doa, dalam tulisan, atau bahkan dalam lamunan. Tuan. Aku masih disini. Masih mengingatmu, masih mengenangmu, dan aku tak akan lupa.
Tuan. Semoga rindu ini sampai padamu. kutuliskannya melalui perantara doa. Jangan khawatir, rasa rindu ini pasti terus mengalir, aku tak terpikir sekalipun berhenti untuk menyudahinya.
Tuan. Selamat menjalani kesibukkanmu. Tanpa ada aku. tapi percayalah, doa-doa yang kubisikkan pada Tuhan, adalah salah satu cara bahwa aku hadir disisimu.
Tuan. Semoga sibuk kita adalah sibuk yang baik. Tak ada hati yang disakiti. Dan menyimpan perasaan ini erat-erat.
Aku tak peduli seberapa jauh, yang kutau, kita masih dicerita yang sama.
Salam rindu, sehabis hujan.
Tuanku.

No comments:

Post a Comment

Terlalu lama

Terlalu lama, terlalu rapuh, terlalu keruh untuk menerima hidup yang tak sepenuhnya utuh. Bagaimana kabarmu? Aku melihatnya lebur, mungkin t...