Hi Tuan.
Malam semakin larut ya. Kicauan suara katak dan sejenisnya
semakin mengalirkan perasaan dihati ini. Rasa rindu, segenap rindu yang
menghiasi gelapnya langit hitam ini. Aku lupa memberitahumu, lepas hujan tadi,
aku tak kunjung berhenti mengingatmu. Deru angin bahkan tak begitu berpengaruh
pada sejuk hati. Air itu menetes deras, tuan. Seperti rasa rinduku padamu yang
terus mengalir. Aku mengingatmu disela kesibukan duniaku. Aku memperhatikan
bayangmu yang seakan ada di seberangku. Ternyata jauh, kita sedang melamunkan
diri masing-masing. Berusaha tak peduli, dan melepaskan bayangan itu. Kembali mengukir
tawa dan canda baru, ya benar, tentu saja tanpa ada senyum istimewa yang
terukir.
Tadi, saat hujan, aku tak melihat sedikitpun tentang
kehadiranmu. Seperti dongeng, orang bilang ia akan menemukan sosok setelah
hujan. Hujan itu istimewa. Seperti kita yang sedang berpura-pura
mengistimewakan hati masing-masing. Lantaran, ada yang harus kita perbaiki
masing-masing. Tanpa harus bertemu, atau bahkan bersapa sekalipun. Rindu ini
terus bercerita, tuan. Aku belum bisa lupa tentang arti pertemuan. Aku harap,
kita baik-baik saja. Dengan hati yang baik. Dan masih sama dengan perasaan yang
lama. Tak berubah. Meski keadaannya sudah tak tersusun indah.
Hujan tadi, melamunkanku. Aku melamun. Aku lupa bahwa ada
tugas yang harus kuselesaikan. Entahlah, entah 5 atau 10 menit aku berhenti
pada keadaan nyata. Mengingatmu dikeseharianku tak pernah hilang. Bahkan, tanya
saja sama tuhan, sudah berapa banyak namamu yang kusebut. Tuan, aku linglung. Aku
bimbang akan keadaan. Aku tertipu. Aku justru masih menunggu. Berdiam diri agar
kamu datang menghampiri. Bercanda ria tanpa ada batasan. Entah, entah sampai
kapan aku memikirkan itu. Yang kutau, semuanya hanya ambisi dan imajinasi. Atau
bahkan, fantasi. Seperti dongeng.
Hujan ini baru saja berhenti. Bau tanah basah itu masih
utuh. Saat kutarik nafas, seperti ada kamu disana. Tuan, ada tempatku bersandar
disitu. Ada tempat curahan hati yang bisa langsung kuutarakan. Cemasku,
marahku, bahagiaku, sedihku, ada saja yang menghiburku. Tapi sepertinya,
lagi-lagi aku tak bisa menggerutu. Lagi-lagi aku bermimpi lagi. Tuan, aku
mengerti. Kita berusaha bertahan dalam kebisingan hidup dan cobaan
masing-masing. Kita sedang berusaha mengertikan diri sendiri, tanpa ada yang
siap menghibur hati, setiap hari.
Aku terbelenggu dalam keadaan ini. Aku tak bisa menyalahkan
siapapun. Tuan, yang kuharap hanya satu. Ada hati yang selalu kamu lindungi,
dalam kesibukanmu yang tak kenal waktu. Keseharianmu,
yang tak kunjung melirikku. Kita terbatas, dan tak akan pernah berhenti untuk
itu. Kita tak bisa berhenti untuk menyudahi kesibukan masing-masing. Kita tak bisa
menyalahi siapapun.
Hujan itu kini usai. Aku kembali tersadar. Tuan, kita memang
terpisahkan ruang dan waktu. Kita harus merelakan hari demi hari dengan senyum
miris. Kita harus terlihat kuat. Dalam keseharianku, aku tak jenuh mengingatmu.
Meski terkadang, mengingat tanpa bisa bertemu adalah hal yang menyakitkan. Berusaha
menyibukkan diri masing-masing untuk melupakan sebentar bahwa kita memang
terpisah adalah hal yang tak bisa kulalui.
Tuan. Aku masih disini. Masih bersamamu. Dalam doa, dalam tulisan, atau bahkan dalam lamunan. Tuan. Aku masih disini. Masih mengingatmu, masih mengenangmu, dan aku tak akan lupa.
Tuan. Semoga rindu ini sampai padamu. kutuliskannya melalui
perantara doa. Jangan khawatir, rasa rindu ini pasti terus mengalir, aku tak terpikir
sekalipun berhenti untuk menyudahinya.
Tuan. Selamat menjalani kesibukkanmu. Tanpa ada aku. tapi
percayalah, doa-doa yang kubisikkan pada Tuhan, adalah salah satu cara bahwa
aku hadir disisimu.
Tuan. Semoga sibuk kita adalah sibuk yang baik. Tak ada hati
yang disakiti. Dan menyimpan perasaan ini erat-erat.
Aku tak peduli seberapa jauh, yang kutau, kita masih
dicerita yang sama.
Salam rindu, sehabis hujan.
Tuanku.
No comments:
Post a Comment