Wednesday, December 11, 2019

Rumah

Rumah selalu menjadi cerita paling candu dari banyaknya langkah yang saling menemukan temu. Dengan rumah, aku menemukan sederhana dari puing-puing yang retak, dari cerita yang membelenggu dan memberi duka terdalam—rumah memberiku selimut paling nyaman tanpa perlu harus menatap segala rupa dari setiap tatap.
Rumah tidak hanya sekedar atap tebal agar tak perlu bocor, ia mendekap segala yang retak untuk nantinya menyembuhkan yang rusak. Aku tidak perlu bingung harus mengubur mimpi seperti apa di luar sana, rumah selalu melindungi imajinasi dan membawa ribuan kebahagiaan dalam kesunyian.
Rumah bukan sekedar singgah karena takut panas—takut hujan—takut cibiran dari dunia luar yang menelusup tajam, tapi juga didalamnya aku temui sementara yang memberi kedamaian, menyegarkan rasa sepi, juga melegakan yang bertepi. Aku menepi bukan sekedar untuk takut keadaan, pelan tapi pasti, aku belajar bahwa pertemuan paling sederhana ialah bermukim pada yang tepat, dan dengan kebersamaan tanpa rupa-rupa yang harus terbentuk palsu; aku singgah pada dunia paling tentram yang memberi perasaan nyaman.
Aku tidak perlu menutupi ragu-ragu, condong pada segala harapan yang tidak mungkin akan sampai, segala bilik dan ruang yang berbeda, yang memberiku satu harapan pasti bahwa sebenarnya kebahagiaan akan selalu aku temukan. Sederhana tapi pasti—aku belajar bahwa menjadi sendiri dalam rumah, atau bersama kelompok kecil yang biasa saja, memberikan satu kebahagiaan pasti yang tidak pernah aku pikir bahwa begitu dalam rasanya berbahagia.
Rumah memberiku satu bentuk perhatian paling kasih, memberiku kedamaian yang tak henti-hentinya bosan, menjadikan sunyi adalah mimpi paling indah tanpa perlu menanam harap yang tak pasti merekahnya. Rumah tak perlu membuatku jadi orang lain, membiarkan aku tumbuh dengan pilihan-pilihan rumit menurut banyak orang. Rumah membebaskan aku untuk berekspektasi—tidak sama dengan mulut orang-orang luar yang mengubur segala mimpi-mimpi indah.
Aku pikir, menanam cinta dari benihnya adalah sesuatu yang melegakan. Rumah tidak membuat aku menyesal sama sekali—mendekap segala yang tak pasti dari pikiran jahat yang tiba-tiba datang, hingga rasa kasih tumbuh dan tertanam dalam diri seseorang. Aku hidup sehidup-hidupnya, dengan sendiri—atau beramai-ramai, aku tetap merasa ada, meski dinding yang selalu mengkokohkan kehidupan.
Di luar rumah, aku tidak pernah bisa untuk merangkul senang sedemikiannya. Susah, sulit untuk menerima kenyataan bahwa mimpi-mimpi dan ucapan orang dapat menjadi satu selera yang berjalan beriringan. Aku tidak terluka, cuman belum sampai pada titik tenang yang memberi perlindungan dan rasa aman.
Maka, senang rasanya, ketika aku tumbuh dari rumah paling hidup yang bagi orang lain begitu redup. Aku senang berada pada satu bangunan kokoh yang memiliki orang-orang baik didalamnya. Meski kadang kebahagiaan harus selalu aku semogakan, rumah selalu menjadi bagian paling support dari harap dan cemas yang datang tidak pada waktunya.
Aku berterimakasih pada sebuah tempat bermukim yang memberiku satu arti kedamaian paling dalam. Tanpa aku tahu, bahwa sebenarnya pintu-pintu itu terbuka untuk memberikan satu langkah bahwa ada berbagai cabang baik yang seharusnya aku temui. Tiap-tiap ruang menjadi saksi bahwa kehidupan selalu berbeda. Aku selalu belajar lebih banyak—caranya bersandar untuk seseorang, maupun menjadi tempat ternyamannya nanti pada hidup yang tak pernah ia temukan satu hal paling terkenang.
Aku menuju bangunan paling kokoh di bagian hidup seseorang. Sampai terkadang—rasanya usaha itu selalu memberiku semangat. Dan pembelajaran paling penting ialah; aku dapat memberi kebahagiaan bagi orang lain yang menjadikan aku rumahnya, tempat cerita paling menyenangkan, tempat pulang kekhawatiran, dan senderan atas abu-abunya hidup.
Temukan aku pada salah satu pintu. Sampai nanti, sampai kita saling mengetuk rumah masing-masing, untuk saling memberi kedamaian paling tenang, tanpa niat sama sekali untuk merobohkan.


No comments:

Post a Comment

Terlalu lama

Terlalu lama, terlalu rapuh, terlalu keruh untuk menerima hidup yang tak sepenuhnya utuh. Bagaimana kabarmu? Aku melihatnya lebur, mungkin t...