Rumah selalu menjadi cerita paling candu
dari banyaknya langkah yang saling menemukan temu. Dengan rumah, aku menemukan
sederhana dari puing-puing yang retak, dari cerita yang membelenggu dan memberi
duka terdalam—rumah memberiku selimut paling nyaman tanpa perlu harus menatap
segala rupa dari setiap tatap.
Rumah tidak hanya sekedar atap tebal
agar tak perlu bocor, ia mendekap segala yang retak untuk nantinya menyembuhkan
yang rusak. Aku tidak perlu bingung harus mengubur mimpi seperti apa di luar
sana, rumah selalu melindungi imajinasi dan membawa ribuan kebahagiaan dalam
kesunyian.
Rumah bukan sekedar singgah karena takut
panas—takut hujan—takut cibiran dari dunia luar yang menelusup tajam, tapi juga
didalamnya aku temui sementara yang memberi kedamaian, menyegarkan rasa sepi,
juga melegakan yang bertepi. Aku menepi bukan sekedar untuk takut keadaan,
pelan tapi pasti, aku belajar bahwa pertemuan paling sederhana ialah bermukim
pada yang tepat, dan dengan kebersamaan tanpa rupa-rupa yang harus terbentuk
palsu; aku singgah pada dunia paling tentram yang memberi perasaan nyaman.
Aku tidak perlu menutupi ragu-ragu,
condong pada segala harapan yang tidak mungkin akan sampai, segala bilik dan
ruang yang berbeda, yang memberiku satu harapan pasti bahwa sebenarnya
kebahagiaan akan selalu aku temukan. Sederhana tapi pasti—aku belajar bahwa
menjadi sendiri dalam rumah, atau bersama kelompok kecil yang biasa saja,
memberikan satu kebahagiaan pasti yang tidak pernah aku pikir bahwa begitu
dalam rasanya berbahagia.
Rumah memberiku satu bentuk perhatian
paling kasih, memberiku kedamaian yang tak henti-hentinya bosan, menjadikan
sunyi adalah mimpi paling indah tanpa perlu menanam harap yang tak pasti
merekahnya. Rumah tak perlu membuatku jadi orang lain, membiarkan aku tumbuh
dengan pilihan-pilihan rumit menurut banyak orang. Rumah membebaskan aku untuk
berekspektasi—tidak sama dengan mulut orang-orang luar yang mengubur segala
mimpi-mimpi indah.
Aku pikir, menanam cinta dari benihnya
adalah sesuatu yang melegakan. Rumah tidak membuat aku menyesal sama sekali—mendekap
segala yang tak pasti dari pikiran jahat yang tiba-tiba datang, hingga rasa
kasih tumbuh dan tertanam dalam diri seseorang. Aku hidup sehidup-hidupnya,
dengan sendiri—atau beramai-ramai, aku tetap merasa ada, meski dinding yang
selalu mengkokohkan kehidupan.
Di luar rumah, aku tidak pernah bisa
untuk merangkul senang sedemikiannya. Susah, sulit untuk menerima kenyataan
bahwa mimpi-mimpi dan ucapan orang dapat menjadi satu selera yang berjalan
beriringan. Aku tidak terluka, cuman belum sampai pada titik tenang yang
memberi perlindungan dan rasa aman.
Maka, senang rasanya, ketika aku tumbuh
dari rumah paling hidup yang bagi orang lain begitu redup. Aku senang berada
pada satu bangunan kokoh yang memiliki orang-orang baik didalamnya. Meski
kadang kebahagiaan harus selalu aku semogakan, rumah selalu menjadi bagian
paling support dari harap dan cemas yang datang tidak pada waktunya.
Aku berterimakasih pada sebuah tempat
bermukim yang memberiku satu arti kedamaian paling dalam. Tanpa aku tahu, bahwa
sebenarnya pintu-pintu itu terbuka untuk memberikan satu langkah bahwa ada
berbagai cabang baik yang seharusnya aku temui. Tiap-tiap ruang menjadi saksi
bahwa kehidupan selalu berbeda. Aku selalu belajar lebih banyak—caranya bersandar
untuk seseorang, maupun menjadi tempat ternyamannya nanti pada hidup yang tak
pernah ia temukan satu hal paling terkenang.
Aku menuju bangunan paling kokoh di
bagian hidup seseorang. Sampai terkadang—rasanya usaha itu selalu memberiku
semangat. Dan pembelajaran paling penting ialah; aku dapat memberi kebahagiaan
bagi orang lain yang menjadikan aku rumahnya, tempat cerita paling
menyenangkan, tempat pulang kekhawatiran, dan senderan atas abu-abunya hidup.
Temukan aku pada salah satu pintu.
Sampai nanti, sampai kita saling mengetuk rumah masing-masing, untuk saling
memberi kedamaian paling tenang, tanpa niat sama sekali untuk merobohkan.
No comments:
Post a Comment