Sisi-sisi jemariku masih mengetik tentang kita; sebuah pernah yang tak kunjung bersatu, atau satu yang akhirnya berpisah, segala tentang kenyataan, yang akhirnya membuat kita terlena dan terluka masing-masing. Pikiranku masih kotor, dibumbui hawa-hawa masa lalu yang seharusnya pergi dan tak mengenal lagi memori. Lalu kenyataannya, semua yang terlupa tak kunjung terlempar meski sudah kita sudutkan bersama, kenangan; ia selalu saja mengejar jarak antara kita.
Kau mencintai seseorang; lepas perpisahan yang belum pernah kita usaikan, ketika perasaanku yang masih melambung, ketika hati yang masih kuberi ruang untuk berbahagia. Seperti semudah sedia kala sebuah pertemuan, kau yakin, bahwa hatiku akan menemukan tuan, dan itu kamu; yang akhirnya menoreh luka pada sisi mana saja dalam diri. Kau bilang tidak padaku. Pada akhirnya aku lebih dulu merasa tak nyaman, hatiku lebih dulu merengut. Aku pupus dan sakit meski kau susuri kata tidak bertubi-tubi.
Aku tak ingin mengutuk selepas kepergian, kuputuskan lebih dalam dan menantang perasaan kecewa untuk berhati tegar, kubiarkan ronamu berjalan menyusuri langkah pada yang lain, yang kau sebut-sebut seperti aku tak pantas dan selalu membiarkan kesalahan-kesalahan fatal yang ada; yaitu membiarkanmu tetap mengejar seseorang. Tak pernah kufikir bahwa setiap hati membiarkan itu terjadi, dan kau tak pernah masuk pada sisiku, pada perasaan sesak yang akhirnya aku legakan sendirian.
Bibirmu menjalar pada telingaku, mengucap serpihan kata-kata yang dibumbui pemanis. Aku ini amat penyabar; ah, ucapmu. Kau tahu ketika aku akhirnya mencabik-cabik hati sendiri dan lekas mengumpat dalam pilu? Kau tahu ketika aku memutuskan menjauh dari bilik wajahmu untuk menyembuhkan bait-bait perasaan? Kau tahu apa ketika aku terhempas dan kemudian menggetirkan bibir untuk menyimpul senyuman?
Ketika akhirnya aku tahu bahwa apa yang kau cari kini tak lagi padaku, lalu ketika harga dirimu masih mengemis pada orang sepertiku yang terhina, aku bisa apa. Ketika akhirnya kau menemui seseorang yang juga menabur rasa padamu persis dihadapanku, namun aku hanya senyum getir dan berusaha mengamankan perasaanku. Kelak yang aku percaya akhirnya hatiku akan kaku, tak lagi menganggapmu sebagai seseorang yang selalu aku cari.
Dan sekarang, kau biarkan hatiku masih menyepikan perasaan. Menutup dari orang-orang sekitar dan tak lagi ingin membuka pintunya. Bukan karena aku masih memikirkan kebaikanmu; sama sekali tidak. Aku masih cukup menahan sakit yang tiada tara ketika aku masih memiliki memori tentang masa lalu. Kau membuatku memojokkan diri, takut untuk percaya akan apa yang sebenarnya aman. Kau masih saja tetap disisi gelapku; hingga hatiku mati untuk orang lain, dan aku takut menahan sesak yang semakin terbeban.
Aku sudah cukup memutuskan untuk mencari langkah kepergian menuju masa depan. Jangankan kamu, usahaku untuk menerima orang lain saja terkadang sulit, karena yang kau ciptakan masih saja menjalar deras disekujut hatiku, membuatku takut untuk membersamai orang baik yang lain, membuat langkahku berjalan maju, namun tidak pada sisi sakit hati yang ada.
Tak ingin memaki, aku hanya ingin kau hempas lagi rasa kecewa, bukan untuk mengulang, sama sekali bukan. Aku tak cukup nyali untuk mencintaimu selepas pergi itu, dadaku sesak manakala ingat sakit yang terukir tak sudah-sudah, meski kini sudah usai. Maka dari itu, aku hanya ingin kau tunjukkan perubahan yang tak membuatku terlena terhadap permainan. Aku hanya ingin mendengar ambisimu untuk mengejar seseorang sudah usai ketika kau temukan apa yang kau incar. Aku hanya ingin kau tak lagi bermain-main terhadap perasaan yang suci, sesederhana itu untuk membuatku sembuh dan bahagia.
Tolong jangan tanya kenapa aku membenci seseorang sepertimu. Hanya aksaraku yang masih tersisa, dan ia yang masih menorehkan luka tentang itu. Jangan pergi untuk kembali, aku hanya harap itu untuk membuatku sembuh dari rasa sakit bertubi-tubi. Ketika nanti aku sembuh; hilang saja dan menjauh, anggap saja kebahagiaanku sudah membersamai orang yang tepat. Pergi saja selamanya, rasa sakit itu akan semakin pupus, dan kelak yang kau harapkan untuk kebahagiaanku, akan segera tiba satu waktu ketika aku percaya pada orang lain; yang membuatku mempercayainya dan menjadi jawaban dari rasa sakit yang sempat kau ukir, untuk selamanya; dan melupakan kepedihan.
Monday, July 16, 2018
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Terlalu lama
Terlalu lama, terlalu rapuh, terlalu keruh untuk menerima hidup yang tak sepenuhnya utuh. Bagaimana kabarmu? Aku melihatnya lebur, mungkin t...
-
Hai, kali ini berhenti buat prosa-prosa dulu ya. Aku mau berbagi ke kalian kalau sekarang aku juga nulis diwattpad:) Emang baru sih, aku la...
-
Halo teman-teman! Mungkin banyak dari kalian yang bertanya-tanya tentang jurusan dari universitas ini nih. Berhubung aku mahasiswa angk...
-
Kali ini emang out of topic banget sama yang biasanya aku bikin. Bukan tentang rangkaian kata, kali ini rangkaian cerita perjalanan ya...
No comments:
Post a Comment