Monday, May 28, 2018

Kalian

     Aku tidak pernah tau, mengapa, kapan, semuanya akan terungkap. Hatimu, hatinya, sedang ada pertemuan apa?
     Hati mengalir hingga ke raga, degup kencang kini berarah pada langkah kaki yang pergi. Aku memberontak, aku harus berlari menepi setelah mengetahui bahwa faktanya ada sesuatu antara lelaki dan perempuan ini. Aku tau satu hal tentang perempuanmu, ia sudah lama mencintaimu, begitukah?
     Wanitamu bak kilau dimatamu. Namun sayang, cintanya mungkin tak sebatas keyakinanmu. Harusnya, engkau mencari perempuan yang siap siaga, menemani, menerima keadaan, juga baik buruknya sifat yang kau lakukan. Ia melatihmu, harusnya. Membuat hari-hari terlalui dengan kebaikan. Namun sayang, yang aku sayangkan, ia tak handal dalam urusan itu.
     Wanitamu selalu kau agungkan. Aku tahu betapa sering kau tatap matanya, betapa sering hatinya kau buat rindu, betapa sering ia merasa galau. Tapi, ia tak menuntunmu kearah jalan yang lebih baik, membiarkanmu berada pada pilihan, membuatku merasa tak nyaman.
     Bisakah, kau menjadi baik sendirian?
     Aku hanya berharap, jika bersamanya kau temui kebahagiaan.
     Berjuanglah, kau hanya perlu perempuan yang dengan tabah mencintai usahamu.
     Kau hanya perlu membersamai seseorang yang merubahmu, untuk lebih baik.

Thursday, May 10, 2018

Jingga (1)

Ia menatapku seperti kaku, membuat tanganku bergetar dan menjatuhkan segelas coklat panas yang aku pegang. Prangg! Suara itu amat nyaring hingga sederet pramusaji dan tamu lainnya terdiam.
Lelaki itu masih saja menatapku dalam. Aku menatap kembali matanya yang tengah memberikan segala amarahnya pada perempuan sepertiku. Tak terhitung waktu berdiaman itu, aku menatap matanya lebih dalam, lalu berjalan lurus meninggalkan retakan cangkir putih kaca yang berisi coklat panas.

Bruak!  Aku menamparnya dengan keras ditengah keheningan. Seperti tontonan yang berkamuflase menjadi aksi seru, aku membiarkan orang lain yang menyaksikannya, ku pikir lelaki ini memang berhak mendapatkan malu.

"Bukan begitu caranya menghindar!" Aku menatapnya lebih dekat, tak peduli pipinya memerah, lelaki itu memang pantas mendapatkan rasa sakit.

"Bukan begitu caranya meninggalkan!" Aku menunduk, menahan sesak, menangis, dan itulah yang terjadi.

"Bukan begitu caranya.." Ia lekas menggenggam tanganku yang tengah menutupkan muka.

"Aku pergi hanya untuk kembali," Suara lelaki itu mengecil, ia tak peduli rasa sakit yang aku lakukan padanya.

"Aku pergi hanya untuk kembali." Ia mengulang kembali perkataannya.

Hati itu memekar kembali.

Terlalu lama

Terlalu lama, terlalu rapuh, terlalu keruh untuk menerima hidup yang tak sepenuhnya utuh. Bagaimana kabarmu? Aku melihatnya lebur, mungkin t...