Friday, September 22, 2017

Kejora

     Entah embun memalsukan butiran air, atau mata yang enggan mendelik menemukan. Entah karena awan yang berbatas tabir hingga tak memunculkan hujan, atau laut pasang yang sedang enggan menaikkan uap. Entah karena semua ada batasan; atau karena aku yang menjaga keadaan.

     Suatu hari dikala sinar menghujani terik panas habis-habisan, aku menyentuh bayang-bayang tanpa rabaan. Mataku tertuju pada satu pembuat onar, penyebab masalah-masalah yang muncul dalam setiap tenang dalam rasa. Setiap ia menatap bola mata hitam, gemuruh yang bersesakan mengitari ruang hampa. Entah karena hanya sebuah mata yang lihai melihat, tanpa ada rasa candu, membuatku ingin mencari pintu keluar dari sebuah pertemuan.



     Semakin ia menarik kakinya untuk mampir dalam pertemuan, semakin membuat jiwa berkutik mencari keamanan. Sepertinya diriku sudah dibumbui oleh rasa penasaran dan ingin mengejar bintang saja; ingin lari dari pangkuan bumi, dan pergi dari cerita-cerita temu itu. Andai aku bisa melarikan diri, ingin rasanya jauh dari pertemuan, jauh dari dekat yang selalu menang, jauh dari hati yang tak hati-hati menemukan.

     Jika, pada awan abu-abu malam mendengar puisi merah jambu, kuharap kejora tetap pada tempat tinggal. Aku ingin ia tetap merona sendirian. Tanpa perlu mematahkan sinarnya untuk kemudian merasa patah. Tak ingin aku menjadikan kejora itu sesak. Melupakan segala perannya karena mendengar sebait syair yang meluluhkan.

     Lalu, aku mengais dalam-dalam peran penting yang aku dapatkan. Kala sebuah penglihatan yang tak habis-habisnya bertemu, aku ingin menyibak segala bohong yang saat itu ada. Aku ingin kabur bersama awan malam, ingin lari kepangkuan kejora; bersandar hingga fajar menemukan arah untuk kembali ada.

     Akankah, sesungguhnya setiap temu itu menyulitkan? Aku ingin memberi kebaikan pada keadaan. Ingin bersandar pada pangkuan langit, lalu terlena dengan hal-hal indah yang belum aku dapatkan. Sendirian saja. Menikmati setiap panorama ufuk timur hingga barat. Menyapa burung-burung yang menebas angkasa dengan kebebasan. Dan aku ingin berhasil. Aku ingin menang. Ingin melawan nyata bahwa diri ini berbatas. Berdinding tebal yang goyah disandar dengan perasaan. Dan memenangkan keaadaan, lalu ikhlas hilang begitu saja layaknya kejora yang berhias dimalam-malam tenang.

     Aku ingin punya batasan. Hingga aku tak selalu memenangkan perasaan-perasaan yang berteriak menang. Aku ingin memberi jeda. Sampai aku mampu menyusun pahit senangnya sebuah ketulusan. Ingin menata kerangka yang indah, menciptakan bait-bait puisi untuk seorang pengonar yang berlari-larian dalam pikiran akalku. Aku ingin menyikapi keadaan. Mencintai bintang kejora dahulu, layaknya ia berterangkan sendu yang indah dimalam-malam tanpa perlu purnama.

     Aku ingin berjarak. Hingga berapa jauh ia mampu menangkap inginku. Jika awan-awan malam mengguyur hujan deras, dan kejoraku menjadi parau, aku mengembalikan pada keadaan, sejauh mana langit mengiringi rinai itu, tanpa perlu menyakiti sang bintang penenang.

     Aku ingin sebuah paham. Bahwa mencipta keadaan yang berlandaskan jarak, bukan sebuah penjauhan yang tersipu benci. Bukan. Karena dengan banyaknya batasan, ada pelajaran yang bisa aku hidupkan untuk kemudian mencari sebuah ketulusan. Tanpa kemudian lepas, bertahan untuk bersama-sama terang dalam setiap keadaan nantinya.

     Layaknya kejora, aku ingin bertahan untuk sebentar. Bertahan memberi batasan untuk menghargai sebuah pertemuan. Belajar mencintai dunia sendiri; dan belajar melihat kesanggupan siapa yang akan terus menerus mengalir dengan sebuah kebatasan.

     Jika harus hilang, kejorapun melakukan. Tak apa, aku akan tetap menikmati langit malam itu. Meski tidak ada sinar yang mengasah detak didadaku untuk tenang. Jika memang harus seperti itu, aku akan belajar menikmati deru angin malam dengan rintikan hujan yang membawa hawa-hawa dingin saja. Tapi tetap, aku ingin kau memahami batas yang aku tanam.

      Karena itu aku mencintai bintang kejora; ia muncul untuk kemudian mengajarkan sebuah hilang yang akan datang.

No comments:

Post a Comment

Terlalu lama

Terlalu lama, terlalu rapuh, terlalu keruh untuk menerima hidup yang tak sepenuhnya utuh. Bagaimana kabarmu? Aku melihatnya lebur, mungkin t...