Monday, February 24, 2020

Sembuh

Semesta kadang bercanda. Seseorang yang tidak pernah harap datangnya kini memberi kehadiran yang tetap sama--berbincang dengan elok tanpa ada rasa bersalah dan menjadikan dirinya sebagai seseorang yang paling sempurna. Kehadiran yang mengacau sepersekian detik rasa bahagia dan ketenangan--menjadi yang paling ingin dilihat anggun dan luar biasa--mengacau segala senang dan melukis kembali luka lampau.

Tidak pantas rasanya untuk hanyut pada sebuah kata maaf setelah selesai. Mempercayai perkataan tajam yang menyimpan maksud yang tak diharap. Mengiyakan dan menerima dengan mudah segala rasa sakit yang sudah mulai sembuh. Banyak hal yang aku pikir lebih baik untuk menjadikan masa lalu sebagai kenangan yang sekedar--tanpa berpikir bahwa pada akhirnya luka-luka lama semakin melebar.

Tidak pernah saya harap datangnya rasa sakit yang terus hinggap. Begitu betahnya berada pada dinding yang telah kokoh hanya untuk sekedar masuk dan menghancurkan kebahagiaan. Seperti menyenangkan ketika masuk pada sebuah keadaan bahagia, yang pada akhirnya membawa duka paling menyakitkan.

Saya salah, ternyata hal yang saya pikir baik--tidak pernah menjadi hal yang baik. Semua gagal. Jika disuruh memilih, saya ingin kembali sedia kala--sebab saya ingin pulih.

Tapi kadang,  skenario yang saya inginkan tidak pernah dimengerti oleh seseorang. Keinginan saya terhadap hal yang baik telah dihancurkan oleh keadaan yang buruk. Segala semoga yang saya rangkai ternyata dengan mudah menjadi permainan yang seakan mudah digapai. Saya ingin berontak pada rasa benci ini, tapi saya sadar bahwa semakin saya melakukannya semakin saya tidak bisa berdamai.

Saya ingin memaafkan. Tapi saya sulit melupakan.

Luka itu tidak pernah sembuh sederhana--dan saya selalu mencari tahu cara untuk tidak lagi
mengekangnya didalam ruang senyap dan meleburkannya pada mimpi-mimpi yang saya semogakan.
Entah berakhir kapan--saya hanya butuh baik-baik saja.
Pada segala mimpi yang semoga nyata--akan saya sisakan rasa ikhlas untuk sebuah bahagia.

Semesta adil, kata saya. Dan kebahagiaan dari seseorang yang menyakitkan, akan selalu bisa dirampas oleh rasa sakit seseorang.

Sunday, February 2, 2020

Saling

Perasaan itu bukan tentang menyampaikan dan menerima, didalamnya ada sebuah proses panjang yang tidak bisa dipelajari satu kali--bahkan saat kita menjadi diri sendiri dan perlahan pergi, semua tetap butuh belajar.

Aku butuh menelaah lebih dalam tentang apa yang kusuka, lebih unggul tentang segala yang aku senangi, tanpa didalamnya perasaan yang tak perlu aku ingat sejauh apa aku berlari ketika aku sedang membenci diri. Aku juga sedang jatuh cinta pada setiap hari-hariku. Memandang garis tangan orang lain sembari tersenyum menjadi hal yang menyenangkan. Ikut beraktivitas pada setiap langkah yang aku takuti. Aku senang menjadi pembelajar ulung yang tidak tau menau tentang benci pada sebelum-sebelumnya.

Setelah aku bebas sekarang, duniaku ternyata memang lebih menyenangkan. Tidak lagi aku perlu mengingat kesalahan seseorang hanya karena sulit memaafkan--atau bagaimana caranya supaya menjadi yang pemaaf untuk orang lain. Semua rela dan berjalan semenyenangkannya.

Sampai disuati titik, aku kelelahan mengejar rutinitas yang menyenangkan ketika pada akhirnya luka-luka di masa lalu kembali berdatangan.

Tidak lagi rasa patah yang telah lalu menjadi titik tertinggi yang unggul kali ini.

Suram sudah, semua tidak lagi berjalanan beriringan, semua berbeda, dan tidak ada langkah yang membawa pada satu bentuk suka cita tanpa berani menelantarkan. Ruang itu sudah sendirian, tidak lagi butuh kepercayaan yang tanpa nyata karena semu selalu menjadi dusta paling berbahaya.

Tidak menarik kalimat baik yang orang lain sampaikan. Maksud itu tidak pernah semulus yang katanya tulus. Tentang menerima--bisakah aku melewati satu kesempatan yang paling tidak pernah aku harap datangnya?

Aku masih menjadi seseorang yang tetap. Berada pada satu atap yang menyenangkan berjalannya. Tidak tentang cerita orang lain ataupun hal yang menyakitkan, membenci adalah keinginan, tapi aku sadar bahwa ikhlas adalah awal dari kebahagiaan.

Pada akhirnya, setelah aku menjadi seseorang yang tetap, aku tidak ingin selalu menjadi yang paling erat untuk digenggam. Bukan lagi yang harus selalu dipaksa. Bukan lagi yang harus selalu memahami. Bukan lagi yang tangguh karena rasa sakit yang tidak pernah dipaksa atas kehadirannya. Bukan lagi penyejuk ketika aku sedang sendu dibelakang.

Aku, bukan kepulangan yang harus selalu kamu wajibkan.
Didalamnya, aku terhumus luka yang dengan sendirian merasa baik-baik saja.
Didalamnya, aku berpeluang untuk sakit meski terlihat tidak apa-apa.

Tetaplah menjadi beda yang tidak ingin sama-sama mencari karena tahu saling adalah sebuah cara untuk terus melukai.

Aku butuh baik-baik saja untuk berhenti mencari tahu kembali tentang kehilangan.
Aku, menjadi seseorang yang tidak lagi ingin meneguk pilu, karena tahu--didalam sebuah pilu, ada segala rasa yang berbahaya, yang akan membuatnya jatuh kembali pada jurang yang mungkin sama.

Saling berhenti mendahului takdir yang tidak mungkin pernah berpihak, kita selalu harus belajar bahwa bentuk mengamankan perasaan adalah saling melepaskan.

Terlalu lama

Terlalu lama, terlalu rapuh, terlalu keruh untuk menerima hidup yang tak sepenuhnya utuh. Bagaimana kabarmu? Aku melihatnya lebur, mungkin t...