Thursday, January 17, 2019

Ikhlas

     Aku pernah diposisi itu, posisi paling sakit dan paling berat. Posisi ketika aku masih mencari jati diri, menyibukkan hari-hari dengan giat, menggali potensi, dan menolak perasaan.
     Aku pernah diposisi itu, posisi yang membuatku pelan-pelan berharap. Posisi ketika aku pada akhirnya percaya dan yakin pada seseorang yang kerap kali aku usir dari hadapan. Posisi ketika aku menikmati hidup hanya untuk diriku, kemudian aku terbawa cara bermainnya untuk jatuh ke orang lain.

Tuan,
Aku pernah tersakiti. Rasanya, ruang-ruang tenang didada diusik tajam oleh tumpahan rasa sakit. Seperti dihujam bebatuan, namun kali ini tidak berdarah, ia hanya luka dan membekas lama;
Jangan tanyakan berapa lamanya, tidak akan pernah ada ukuran dan prediksi untuk sembuh.
Aku pernah dikhianati. Persis ketika rasa-rasanya aku sedang diboomerangi kenyataan. Aku tidak hanya membenci diriku, namun saat aku membenci segenap kumpulan orang-orang sekitarku. Mereka membuatku kalap dalam hari-hari panjang, dan ada yang dengan sebegitu teganya memberikan rasa sakit yang semakin dalam; semakin terluka. Lukaku itu tidak lagi terpaku pada orang-orang jahat, namun juga pada satu orang yang kupikir akan peduli, kemudian ia melukaiku lebih sakit.
Aku pernah ditinggalkan saat aku butuh penopang, lebih dekat untuk bercerita tentang nyata, lebih paham untuk bercerita tentang rasa. Kupikir, ketidaknyamananku akan direnggutnya lalu diubah menjadi tawa dan lupa akan kejadian yang membuatku renta. Ternyata tidak, aku tetap saja terluka. Aku sendirian dibawah kebisingan orang-orang. Lama, cukup lama bertahan.

Terlalu lama

Terlalu lama, terlalu rapuh, terlalu keruh untuk menerima hidup yang tak sepenuhnya utuh. Bagaimana kabarmu? Aku melihatnya lebur, mungkin t...