Friday, April 21, 2017

Perpisahan

     Entah apa yang dipikirkan orang-orang tentang perpisahan. Itu menyakitkan. Sangat melukai hatiku yang tak mampu menampung derasnya pilu. Semakin hari, rongga dadaku membengkak, ia tergelincir pada tiap duka yang bersemayam lama dalam selimut tanya. Aku selalu sulit untuk terbiasa bercakap pendek pada hatiku sendiri yang kerap menyimpan pertanyaan semu yang sulit kulontarkan. Aku semakin sulit berbicara dan menyadarkan diri, semakin ingin mencari tau, namun rupa-rupa jawaban itu masih terlihat samar. Dan akhirnya yang harus dipahami, perpisahanlah yang menanggung risiko paling besar dalam sebuah pertemuan.

     Aku tak ingin ada pertemuan. Jika penyakit itu; sebuah perpisahan, yang selalu kerap aku temukan. Entah harus menangis atau meraung, aku lah yang selalu tersakiti. Akulah yang dibuatnya bimbang hingga cemas tak menepi. Aku diambang tanya, apakah pertemuan kali ini adalah jawaban atas pertemuan lainnya? Apakah nantinya aku bisa bertemu dengan sosok itu? Iya. Seseorang yang hadirnya tak pernah kuharap, namun Tuhan memberi garis besar dalam sebuah perjalanan. Dalam hidup kali itulah, tepat pertama kalinya aku bertemu dengan orang yang sosoknya kusebut "berbeda."



     Aku menyebutnya berbeda. Banyak hal yang kutemukan padanya, saat kulihat para manusia-manusia remaja lainnya. Hal yang kusebut magnetku, karena ia dapat menyimpan sifat yang membuatku ingin lekat. Dia bisa menjangkau hatiku yang tak pernah ingin mencoba untuk menyantuni tiap hati-hati yang mulai mengenali diri. Dia tak pernah membuatku rumit, juga bermain-main pada hidupku yang telah kususun rapi-rapi setiap gerak. Aku dibuatnya terpaku. Hingga aku tak pernah tau, dan ingin untuk mencari tau lebih jauh. Aku menyimpan debar pilu, pada sosoknya yang bersemedi tenang dalam canduku.

     Aku mencoba menerawang. Pertemuan kali itu lebih berwarna daripada hari-hari yang terasa hambar sebelumnya. Entah darimana muasalnya, aku membenci sosoknya yang memasang wajah angkuh. Ia bahkan menyapaku dengan tenangnya dan raut menggampangkan seperti manusia yang tak bisa menjaga etika. Pertemuan itulah; saat aku membencinya dan mencoba menggusurnya dari tatap kedua bola mata.

     Dari sana, pikiran mulai kacau. Aku selalu menyibak tiap rona yang ia pancarkan kala itu. Percakapan-percakapan klise yang terlontar diawal perjumpaan itu semakin membuat tanda tanya besar. Puncaknya, adalah saat tak sengaja lagi takdir mempertemukan hitam bola mataku pada dua bola matanya. Pikiranku mengacau, meski aku tak berani untuk antusias pada dirinya yang kunilai bak seorang pemain perasaan.

     Namun logikaku berputar. Visualku mengarah pada sosoknya yang kali itu berbeda. Tak pernah kutemukan lagi ia bercakap pendek pada perempuan lain yang mungkin baru dikenalnya. Setelah hari-hari kemudian, aku menemukan ia dengan senyum ketulusan. Dengan tingkah yang aku nilai sungguh membuatku tertawa. Dengan segala tingkah lakunya yang membuatku semakin ingin tau. Bertanya-tanya. Dan ternyata memang, pertemuan pertamaku sebelum hari itu, telah membawa kenang yang tenang pada segelintir harapku.

     Aku menyibak kala itu. Hari-hari berlalu dengan menyusut. Aku semakin sulit untuk menyakini berbagai hal absurd yang ia hadirkan. Ia membuatku canggung tak henti-henti, saat tingkah lakunya yang membuatku ingin dan ingin untuk mengenalinya. Apa yang sempat kunilai pada dirinya saat pertemuan awal, bukan apa yang kukenal setelah perjumpaan-perjumpaan berikutnya. Ia berbeda dengan apa yang kupikirkan. Hadirnya membuatku bisa kembali bermimpi, berharap, dan membuatku lebih kuat untuk mempercayai masa depan. Entah mengapa, aku nyaman dengan hal-hal aneh yang ia ciptakan.

     Dan aku tak pernah sadar. Bahwa pertemuan itu akan semakin pudar. Hari-hari berlalu, aku akan mulai memfokuskan diri pada pencapaian sebuah mimpi. Tentang harapan yang telah aku cita-citakan dengan rinci. Juga dirinya, ia menghilang dengan sengaja. Yang membuatku bertanya-tanya apa ingin dan harap yang ia tanam dihatinya. Hingga tepat perpisahan itu datang. Aku sudah mulai lupa dengan sosoknya. Tepat saat aku tak pernah ingin lagi mengingat pertemuan-pertemuan dahulu itu terjadi. Tepat saat masing-masing diri mencoba saling menjadi orang asing yang tak kenal. Perpisahan itu akan kekal. Entah atau tidak, itu akan bersifat lama dan tak berpihak pada segala harap yang kerap kurapat erat-erat. Dan saat itulah aku harus siap. Perpisahan itu membawa satu besar pertanyaan yang tak sempat kulontarkan pada sosoknya. Mulutku mengkaku tibatiba saat aku ada dihadapnya. Riuh hatiku berdesir, tapi ucapku tak bisa terlontar pada hadirnya kala itu. Aku terlalu canggung, sebab kami telah menjadi orang asing.

     Dan pertanyaan itu belum ada jawabnya. Satu buah pertanyaan besar yang masih terus mengembara hebat dalam pikirku. Aku tak kunjung dapat mengenalinya lagi, sebab kami menjadi asing. Seakan aku seorang anonim yang ingin mengajukan pertanyaan tentang seluk beluk hatinya. Jika aku bisa bertanya, apa yang ada dikepalamu hingga dulu kau sempat hadir dalam hidupku? Mengapa kau singgah, dengan keadaanku yang tak lagi ingin resah?

     Perjalanan itu terhenti. Perpisahan adalah pilu yang harus kurombak menjadi kedamaian. Aku masih membungkam hingga detik ini, waktu dimana kita tak lagi bisa bercakap. Juga saling mencuri tatap. Perpisahan adalah jawabannya. Sebuah jawaban dari sebuah tanda tanya besar yang belum sempat aku tau. Mengapa harus ada perpisahan, jika kelak aku belum bisa menemukan jawaban? Akhirnya, ada peng-akhiran yang semestinya aku hadapi. Ada ego yang harus kusisihkan dengan baik untuk berhenti membuat tanya. Ada kelam yang harus kuletakkan paling ujung tentang bagian pertemuan yang tak abadi.

     Pertemuan itu adalah jawaban dari sebuah perpisahan. Aku tau, pada akhirnya aku harus bisa menyakini diri bahwa kita bukanlah apa-apa. Pada akhirnya aku harus bisa percaya, bahwa tak ada lagi yang harus dikhawatirkan. Pada akhirnya, luka hebat yang menelusuk dadaku, harus bisa kugugurkan segera. Aku membenci pertemuan. Karena tanpanya, akhir tidak akan melukaiku. Aku membenci sebuah perjumpaan. Karena dengan itu, kekhawatiran telah tertanam erat pada diriku.

     Semoga semesta tidak bercanda. Memang takdir harus kita jalankan seorang diri. Pada nantinya, aku berharap untuk sebuah perjumpaan lagi. Semoga lekas dari sebuah perpisahan, kau dapat lagi ada pada sebuah pertemuan baru yang entah kapan. Semangat untuk mengejar cita-citamu. Meski hatimu, belum tentu menerbitkan aku sebagian bagian dari harapmu. Aku jatuh hati, pada setiap pertemuan yang kini tak bisa lagi kita temukan. Terimakasih, untuk menjadi bagian dari pertemuanku, yang sempat membuat hatiku menginginkannya. Terimakasih, untuk menjadi bagian dari perpisahanku, yang belum kutau apa isi hati itu sesungguhnya. Aku takut untuk sebuah pertemuan, karena jika harus terjadi, aku tak ingin ada perpisahan.

No comments:

Post a Comment

Terlalu lama

Terlalu lama, terlalu rapuh, terlalu keruh untuk menerima hidup yang tak sepenuhnya utuh. Bagaimana kabarmu? Aku melihatnya lebur, mungkin t...