Wednesday, June 1, 2016

Tentang apa-apa saja.

Ia yang kutemui dengan separuh lugunya ditambah dengan senyum tipis disudut bibirnya, adalah ia yang perlahan menyeretku agar berteriak bahwa senyuman itu adalah tanda penghujatan. Ia tidak mengatakan apa-apa tentang pendeskripsiannya mengapa ia dapat mencondongkan bibirnya dengan tatapan begitu datar yang menyimpan beribu pertanyaan padaku. Jelas. Tanda tanya terus terguncang dikepalaku. Apa itu? Bukannya ia seramah tamah seperti orang yang kukenal jauh-jauh hari sebelumnya?

Ia yang kuceritakan berbagai hal ajaib tentang hidupku yang memiliki beribu tikaman dari sudut manapun, adalah ia yang dengan mudah memberi jawaban konyol yang seakan membengis bahwa itu adalah hal yang seharusnya kudapatkan. Entahlah. Mengapa keji dari bisuan-bisuan yang menggerogoti telingaku itu adalah alasan mengapa aku menghakimi dirinya. Mungkin tidak benar, tapi tidak salah. Aku menilai tanpa perlu menganalisa lebih jauh hingga ia menyeret ragaku keperangkapnya. Bukan. Aku hanya memercikkan buih pada rasa ajaib yang menghasutku untuk memiliki penilaian tersendiri tentang perilakunya. Meskipun mustahil, pikiran yang kukendalikan sedikit ini tetap dipengaruhi hawa-hawa hati yang merintih tentang sikapnya. Apakah benar, ia menyimpan beribu kemuslihatan yang kapan saja dapat menyerangku dengan buas?



Ia yang kupedulikan dikala keheningan menghampiri, bukankah kini ia telah lupa bagaimana aku dapat mendatangi binatang buas sedang aku takut? Aku tidak ingin masuk perangkap yang kerap kudiadukannya dengan seseorang yang berarti bagiku juga baginya. Atau bagimu, dalam bengis yang tak dapat kau kendalikan itu, akankah engkau mencari beribu cara agar kelak ia menyelamimu tanpa melihatku diatas sana menunggunya? atau kau membuatnya tak ingat apapun, tentang kekokohan aku yang mendekapnya erat-erat.

Ia yang selalu mendengar keluhkesah tentang pengalaman panjang atau problematika dalam hidupku, mungkin ia yang dengan sistematis akan menyusun dengan rinci jebakan apa saja yang dapat disusunnya dengan setiap adegan atau bagian hidupku yang mencapai klimaks tanpa bisa ku obati penurunan masalahnya. Yap. Ia menyengajakanku untuk berbicara hanya agar ia tau dimana titik kelemahanku hingga tidak ada sandaran yang kokoh agar aku tidak terhempas. Mungkin benar. Setelah kejadian-kejadian yang beberapa bulan atau bahkan tahun yang lalu, tentang apa-apa saja yang kuberitau padanya, justru semakin rumat membabi buta hingga aku masih diurusan yang belum beda. termasuk satu hal. Tentang seseorang. Yang sempat kuberitakan padanya, justru semakin membuatku miris. Ingin mengiris hati sendiri yang menyimpan beribu sesal mengapa ia menunjuk seorang pendengar yang salah. Antagonis, namun eksotis. sebab hanya aku yang merasakan butir-butir penyesalan yang luput akibat salah cerita.

Ia yang seakan paling misterius itu adalah orang yang paling menyakitkan. Jauh hari sebelumnya, mengapa aku menyandar padanya tanda aku percaya dan merasa ia orang paling sempurna? ternyata salah. Kemisteriusan itu justru menggerogoti hatiku yang semakin penasaran akan dirinya. Dan ternyata, aku yang membegoki diri dalam suram. Aku berbagi kisah perjalanan yang sudah kurasai sedari dulu. Termasuk seseorang. Yah. Aku tak mengerti mengapa aku buta akan seseorang yang mempedulikanku atau berharap aku meniadakan hadirnya. Begitu jahat memang. Tapi faktanya aku selalu jatuh pada orang yang bermuka dua.

Tentang apa-apa saja yang kau tingkahkan pada diriku yang tak pernah jeli memilih orang baik atau bukan, aku cukup ambigu untuk memberi alasan pada seseorang mengapa dan bagaimana cara mempercayai seseorang. Yap. Dalam kepolosanku tentang pertemanan, justru penjebakan yang menikam selalu dihampiri padaku. Termasuk tentang seseorang yang sempat kusemai begitu dalam dihatiku. Tapi, kau terus menjatuhkanku bahkan merobek hatiku. Dan aku tau, butuh waktu lama untuk berhenti menghakimi diri sendiri. Sebab, memang aku yang polos. Memang aku yang tak bisa berkutik. Dan aku lelah untuk terus mengingat ke-bego kan yang kulakukan. Dan aku lelah untuk tetap menjadi diriku.

Aku lelah mempercayai apa-apa saja yang seharusnya kupertanyakan sebelum aku terlambat untuk diruntuhkan.

No comments:

Post a Comment

Terlalu lama

Terlalu lama, terlalu rapuh, terlalu keruh untuk menerima hidup yang tak sepenuhnya utuh. Bagaimana kabarmu? Aku melihatnya lebur, mungkin t...