Thursday, June 23, 2016

Space, dan Cerita Pindahan

Hai readers. salam kechup dariku. Jangan menangis, aku gak bisa ngapusin air mata kalian, jangan sedih, aku gakbisa selalu menghibur kalian, jangan marah kalo aku pergi, karena aku selalu ada dihati.:)

Jadi gini, kenapa aku kepikir buat bahas ini kelas? Pertama, karena tanggal 1 Juli 2015 lalu, aku baru aja pindah. Ya giniya, buat yg gatau aku pindah kemana, jadi gini, sedikit info about my self. Aku lahir di Malang, pernah ABC(anak baru kecil ahhaa, umur 1-2 thn apa gasalah itu) tinggal dikupang-NTT. Jangan Rasis tentang kulit ya! Kt ortu aku sih mreka baikbaik;) Ya itu cukup lama sih. Sebelumnya pas aku msh betah diperut ya ahaha, jg sempet tinggal di Bima, NTB, lama juga sih, ya timur gimana ya pasti beda kan. untung aja ga lahir disana, entar balek kampung, *LOH ITU KAN BUKAN KAMPUNG GUE, ya gitu kirakira ya hm. Yagitu, sampe suatu saat pindah ke Pekanbaru kota asing di sumatera, yang gapernah tau. Yauda deh gede disana. Sekarang? Naik kelas 2 SMA? Pindah ke Palembang. *btw ini kota ayah aku sih,dari lahir disni yaa bisa dibilang orang sini meskipun ortunya kagak asli plg hm. Intinya rumit deh. itu aja sekilas ya. Gapenting sih, intinya kan aku mau berbagi cerita, ya untung2 kalo tanggepannya positif;)Oke next,

Wednesday, June 1, 2016

Tentang apa-apa saja.

Ia yang kutemui dengan separuh lugunya ditambah dengan senyum tipis disudut bibirnya, adalah ia yang perlahan menyeretku agar berteriak bahwa senyuman itu adalah tanda penghujatan. Ia tidak mengatakan apa-apa tentang pendeskripsiannya mengapa ia dapat mencondongkan bibirnya dengan tatapan begitu datar yang menyimpan beribu pertanyaan padaku. Jelas. Tanda tanya terus terguncang dikepalaku. Apa itu? Bukannya ia seramah tamah seperti orang yang kukenal jauh-jauh hari sebelumnya?

Ia yang kuceritakan berbagai hal ajaib tentang hidupku yang memiliki beribu tikaman dari sudut manapun, adalah ia yang dengan mudah memberi jawaban konyol yang seakan membengis bahwa itu adalah hal yang seharusnya kudapatkan. Entahlah. Mengapa keji dari bisuan-bisuan yang menggerogoti telingaku itu adalah alasan mengapa aku menghakimi dirinya. Mungkin tidak benar, tapi tidak salah. Aku menilai tanpa perlu menganalisa lebih jauh hingga ia menyeret ragaku keperangkapnya. Bukan. Aku hanya memercikkan buih pada rasa ajaib yang menghasutku untuk memiliki penilaian tersendiri tentang perilakunya. Meskipun mustahil, pikiran yang kukendalikan sedikit ini tetap dipengaruhi hawa-hawa hati yang merintih tentang sikapnya. Apakah benar, ia menyimpan beribu kemuslihatan yang kapan saja dapat menyerangku dengan buas?

Terlalu lama

Terlalu lama, terlalu rapuh, terlalu keruh untuk menerima hidup yang tak sepenuhnya utuh. Bagaimana kabarmu? Aku melihatnya lebur, mungkin t...