Aku menyembuhkan kepingan masa lalu ketika ucapmu memberi ruang tenang paling sunyi, yang kunikmati tiap kali patah hati kembali datang dan bersemi, yang hadirnya betah bertahan dan enggan pergi. Kemudiannya lukamu juga sama, kita sama-sama dipaksa dewasa untuk segera sembuh dari asa yang tak biasa. Rasa patah lebih dari pada yang kita ukur menjadi celah kita merangkul gelisah dan amarah.
Kita menjadi asa yang menyimpan perasaan patah, dikuatkan oleh harapan yang tak pernah lelah mengingatkan, ditegur oleh ego yang sama-sama kita rasakan. Kemudian kita selalu membawa perhatian yang berbeda, untuk sama-sama kuat bertahan, untuk sama-sama berjuang pada luka yang pernah kita rasakan.
Dan ucapan yang sama-sama pernah berbohong kembali kita ukir diam-diam, sama-sama peduli tanpa pernah pandai mengatakannya, tidak pernah mau mengucap apa yang sama-sama kita rasakan, diam-diam ingin, tapi tahu bahwa luka sudah pernah janji untuk tidak ada lagi--tapi selalu kembali.
Aku katakan yang sebenarnya; kita bukan sama-sama menyembuhkan patah yang pernah ada, lebih dari padanya membandingkan kenyataan dengan yang lama, perbedaan menuntut kita dengan apa yang pernah kita punya, menyakiti setiap hari adalah pilihan yang tak pernah kita sadar bahwa yang kita sebut indah hanya akan sia-sia.
Kita bersua bukan untuk menyembuhkan--lebih dari pada kita yang membawa luka.